Label
- Astro (1)
- Case (3)
- Catatan (18)
- Cerita Mini (26)
- Cerpen (5)
- Enerzya (1)
- Kontemplasi (3)
- My Quotes (11)
- Puisi (28)
Minggu, 20 Oktober 2013
Cermin #21 - The Masterpiece
Ada yang memperlihatkan wajahnya, ada yang menutup tirainya, ada yang mengetuk-ngetuk dahinya, begitu juga ada yang menyeka air matanya. Sudah tiga puluh menit pertunjukan berakhir, gedung sudah sepi. Namun di rumah-rumah, di trotoar-trotoar, di mimpi-mimpi, delapan ratus lidah, mencoba menghela dan mencerna, bagaimana hujan menyeka duka tentang daun yang gugur demi daun lagi.
Sabtu, 05 Oktober 2013
Formatio Retikularis
kesadaran seperti embun
yang menempel pada waktu
tercecap oleh rasa pahit
lenyap dalam gerimis selesma
kesadaran ada dalam keheningan
bukan sepi atau senyap malam
tapi ruang dimensi tersendiri
yang tertanam sedalam hati
manusia mengejar kedamaian
namun tak banyak yang sadar
apa yang mesti dipenuhi
dan apa yang mesti dilepaskan
jika arti melepas adalah hilang
tak ada yang bisa memenuhi apapun
karena melepas berarti meniadakan
apa yang tak lagi mampu kita miliki
satu selalu menggenapi
namun jika dua bisa membunuh
akankah kau gapai tiga?
akalmu menunjuk rasamu menuntun
Jakarta, 6 Oktober 2013
- rhariwijaya -
yang menempel pada waktu
tercecap oleh rasa pahit
lenyap dalam gerimis selesma
kesadaran ada dalam keheningan
bukan sepi atau senyap malam
tapi ruang dimensi tersendiri
yang tertanam sedalam hati
manusia mengejar kedamaian
namun tak banyak yang sadar
apa yang mesti dipenuhi
dan apa yang mesti dilepaskan
jika arti melepas adalah hilang
tak ada yang bisa memenuhi apapun
karena melepas berarti meniadakan
apa yang tak lagi mampu kita miliki
satu selalu menggenapi
namun jika dua bisa membunuh
akankah kau gapai tiga?
akalmu menunjuk rasamu menuntun
Jakarta, 6 Oktober 2013
- rhariwijaya -
Jumat, 03 Mei 2013
Kaktus
Hidup ini aneh, ketika kita ingin menjadi kuat, justru yang kita hadapi adalah kelemahan, ketika kita ingin menjadi berani, yang kita hadapi adalah ketakutan. Lalu aku belajar membaca tanda-tanda alam, belajar bagaimana seharusnya kita bereaksi terhadap teori kemapanan dan hukum-hukum ketidakpastian, namun yang aku temui adalah sekumpulan ironisme yang semakin membuatku bertanya tentang siapa sebenarnya diriku, apa arti mereka untukku, bagaimana Tuhan bisa hadir dalam setiap peristiwa sekaligus kekosongan, dalam setiap tawa sekaligus duka, dan dalam setiap kelembutan sekaligus kekeringan.
Kalau saja sebuah senyuman bisa membuat peluru menjadi mawar, maka seharusnya tidak perlu lagi ada tangis dan air mata. Tapi kita juga belajar untuk semakin menyadari bahwa keterbatasan selalu membentengi diri. Menurutmu bagaimana jika batas kaki langit tertutup awan? Sedang kamu tidak menyadari bahwa awan hanya ilusi yang terionisasi. Tuhan menciptakan ketakutan agar kita bisa belajar menjadi berani dengan melawan, dan Tuhan menciptakan kelemahan agar kita bisa mengambil makna dari setiap ketidakberdayaan, lalu menampar diri, bangkit menjadi lebih kuat.
Kedamaian ada karena kekuatan, tapi kekuatan tanpa kedamaian, untuk apa..
Jakarta
- rhariwijaya -
Kalau saja sebuah senyuman bisa membuat peluru menjadi mawar, maka seharusnya tidak perlu lagi ada tangis dan air mata. Tapi kita juga belajar untuk semakin menyadari bahwa keterbatasan selalu membentengi diri. Menurutmu bagaimana jika batas kaki langit tertutup awan? Sedang kamu tidak menyadari bahwa awan hanya ilusi yang terionisasi. Tuhan menciptakan ketakutan agar kita bisa belajar menjadi berani dengan melawan, dan Tuhan menciptakan kelemahan agar kita bisa mengambil makna dari setiap ketidakberdayaan, lalu menampar diri, bangkit menjadi lebih kuat.
Kedamaian ada karena kekuatan, tapi kekuatan tanpa kedamaian, untuk apa..
Jakarta
- rhariwijaya -
Minggu, 03 Februari 2013
A Piece of Serenity
Did we realize something about war?
It's not about killing people, use any kind of tactics or strategies or anything to win.
War that caused by different faith, religion, territory, revenge, and everything that can be used as reasons.
Even if we won, did we think it was over? Not yet..
We have our childrens that will pass our faith.
Even if we died, they would do the same as we did, war against our enemies for the revenge.
How can we defeat others before we can defeat ourselves first?
Did we realize how suffer someone who saw the ones their love died in front of him/her directly?
The pain that we never felt before, how come we used that words to understand each others?
We said that it was for peace, but our heart never felt any kind of serenity..
It's not about killing people, use any kind of tactics or strategies or anything to win.
War that caused by different faith, religion, territory, revenge, and everything that can be used as reasons.
Even if we won, did we think it was over? Not yet..
We have our childrens that will pass our faith.
Even if we died, they would do the same as we did, war against our enemies for the revenge.
How can we defeat others before we can defeat ourselves first?
Did we realize how suffer someone who saw the ones their love died in front of him/her directly?
The pain that we never felt before, how come we used that words to understand each others?
We said that it was for peace, but our heart never felt any kind of serenity..
Minggu, 27 Januari 2013
Pelangi Pernah Mati
jika bukan esok atau nanti
biarkan mata jadi belati
dan jawabnya yang menyeringai
menghunus tanpa henti
maka pada suatu pagi
bangunkan aku di atas peti mati
agar bisa ku ingat sendiri
bagaimana hujan pergi
bagiku melihat pelangi
bukanlah tempat rekreasi
atau meminta konsesi
apalagi menguji nyali
namun kau tunggu mentari
terbuai dalam kursi
melamun menembus memori
padahal itu hanya teori
belumkah kau menyadari
namamu tak ada arti
seperti kapas berduri
yang melambai pada kanji
sayang membuka pintu perangai
tak semudah mengikat tali
pada kata yang terpatri
di tengah galaksi
harus aku cari
ada yang mesti dikaji
muntahan ekskresi
yang tak perlu dibui
biarkan mata jadi belati
dan jawabnya yang menyeringai
menghunus tanpa henti
maka pada suatu pagi
bangunkan aku di atas peti mati
agar bisa ku ingat sendiri
bagaimana hujan pergi
bagiku melihat pelangi
bukanlah tempat rekreasi
atau meminta konsesi
apalagi menguji nyali
namun kau tunggu mentari
terbuai dalam kursi
melamun menembus memori
padahal itu hanya teori
belumkah kau menyadari
namamu tak ada arti
seperti kapas berduri
yang melambai pada kanji
sayang membuka pintu perangai
tak semudah mengikat tali
pada kata yang terpatri
di tengah galaksi
harus aku cari
ada yang mesti dikaji
muntahan ekskresi
yang tak perlu dibui
Rabu, 16 Januari 2013
Cermin #20
Sungai itu mengalir tenang seperti biasanya, seolah menunjukkan keramahan alam di antara kayu dan plastik. Seorang anak berdiri, menatap kosong di pinggirnya menikmati dinginnya hujan di atas atap rumahnya.
Jumat, 11 Januari 2013
Syukur Kami
dunia tak pernah sama
ketika kami membuka mata di subuh-Mu
ketika suara-suara penyeru-Mu
diperdengarkan di telinga yang terjaga
tangan-tangan kami menengadah
tetesan air dalam sayap-sayap malaikat
telah siap menyirami hati yang Kau pilih
bersama senyum langit dan bumi di pagi hari
kami yang selalu ingin berjalan
menemukan-Mu dimana kami
kami yang tak lelah bekerja
merindukan-Mu gerak kami
kami yang belum bisa melihat
keberadaan-Mu penuntun kami
kami yang terus bertanya
kuasa-Mu teguk kami
kami tak pernah cukup akan tanda
meminta apa yang tertera pada tawa
lalu tawa kami jadi tangis
dan tangis jadi doa
kami berdoa dalam kalimat
Engkau menjawab dalam kehadiran
memeluk erat mimpi-mimpi
yang telah Kau siapkan untuk kami
sesungguhnya doa untuk kami
pengakuan untuk kami
permintaan untuk kami
impian untuk kami
rahmat dan berkah untuk kami
maka cukupkan kami dengan kasih-Mu..
Jakarta, 10 Januari 2013
Langganan:
Postingan (Atom)