Tangannya terus bergerak seakan haus akan coretan. Jemarinya meliuk lincah mengikuti lengkungan yang dibuatnya di atas kertas. Tidak banyak warna yang tertoreh, hanya hitam pekat. Sayang kakinya tak sanggup mengikuti kegesitan imaji yang sudah tak sabar dituangkan, ditumpahkan, dipersembahkan. Layaknya seorang hamba yang siap berkorban jiwa raga untuk Penciptanya. Layaknya kekasih yang selalu menjaga kala malam, mencinta sebelum fajar sekaligus mendoa sedalam-dalamnya. Cahaya ruang itu kemudian berpendar, butir-butirnya membutakan kedua mata kami. Sedang lelaki tua itu telah pergi. Dan di ujung dermaga, kami harus menanti...
(untuk Pak Raden)
Label
- Astro (1)
- Case (3)
- Catatan (18)
- Cerita Mini (26)
- Cerpen (5)
- Enerzya (1)
- Kontemplasi (3)
- My Quotes (11)
- Puisi (28)
Senin, 02 November 2015
Minggu, 01 November 2015
Cermin #24 : Membaca Enam Tanda
Selalu ada cara untuk memahami ayat-ayat-Nya. Di ruang tamu yang berukuran
tiga kali tiga, delapan anak duduk melingkar dengan menyisakan satu tempat kosong. Tak lama kemudian guru mereka datang dan mengucap salam. Mereka
memanggilnya ummi. Kedatangannya menggenapi lingkaran itu menjadi utuh. Ummi
mulai membuka Al-Quran yang lembarannya sudah mulai kekuningan. Dengan dipimpin oleh ummi, mereka pun belajar mengaji bersama, membaca huruf demi huruf, ayat
demi ayat, surat demi surat. Mereka membaca dengan lantang dan jelas, walau bukan
dengan kedua mata mereka.
Langganan:
Postingan (Atom)