Saudara-saudaraku,
Jangan biarkan ketakutan akan hal2 yang belum pasti terjadi mempengaruhi pilihanmu..
Ini semua masih persepsi, asumsi, kebenaran yang tidak mutlak..
Kebenaran yang mutlak adalah persatuan dan kesatuan bangsa..
Bersama bergandengan tangan membangun Indonesia yang lebih baik..
Siapapun pilihan kita memang akan menentukan nasib bangsa, tapi pilihan apapun yang kita buat akan sia-sia kalau yang satu merobohkan bangunan yang lain..
Agama jauh lebih agung daripada sekedar panggung politik, bukan alat untuk menyalahkan apalagi mencaci satu sama lain..
Akan lebih baik jika kita saling bertegur sapa, puji memuji, dan kasih mengasihi, dan nasehat-menasehati..
Bukankah itu inti dari ajaran agama kita?
Karena hanya Dia yang mampu membedakan yang baik dan buruk..
Karena hanya Dia yang Maha Mengetahui segala sesuatu yang terang-terangan atau yang tersembunyi..
Tidak ada yang bisa menghina Tuhan, selain diri kita sendiri..
Haraplah, takutlah hanya pada Tuhanmu..
"Don't ask why we choose, but ask why you don't choose?"
- rhariwijaya, Jakarta, 9 Juli 2014 -
Label
- Astro (1)
- Case (3)
- Catatan (18)
- Cerita Mini (26)
- Cerpen (5)
- Enerzya (1)
- Kontemplasi (3)
- My Quotes (11)
- Puisi (28)
Selasa, 08 Juli 2014
Kamis, 23 Januari 2014
Sinar yang Mengambang di Atas Kota
apa yang kau lihat dalam hujan?
di balik rintiknya
di tengah detiknya
sebagian dirimu menerka
dan bagian lain menggeliat
lalu kau membaca
dengan kata yang berkaca
"Ini ulah siapa?", gumamku pada mata
berjuta kubik air menggenang
beribu suara tenggelam, mengenang
selembar daun yang berupa hilang
apa yang kau dengar dalam hujan?
di awal hadirnya
di ujung tafsirnya
tangan kita sudah tak mampu
menengadah awan yang hening
mengarak horison yang bening
lantaran celana jeansmu terangkat
terlalu tinggi untuk menuding
matahari
yang tak pernah turun
pada luka-luka kotamu
pada doa yang senantiasa
terbaring pada sinar yang murung
- rhariwijaya -
di balik rintiknya
di tengah detiknya
sebagian dirimu menerka
dan bagian lain menggeliat
lalu kau membaca
dengan kata yang berkaca
"Ini ulah siapa?", gumamku pada mata
berjuta kubik air menggenang
beribu suara tenggelam, mengenang
selembar daun yang berupa hilang
apa yang kau dengar dalam hujan?
di awal hadirnya
di ujung tafsirnya
tangan kita sudah tak mampu
menengadah awan yang hening
mengarak horison yang bening
lantaran celana jeansmu terangkat
terlalu tinggi untuk menuding
matahari
yang tak pernah turun
pada luka-luka kotamu
pada doa yang senantiasa
terbaring pada sinar yang murung
- rhariwijaya -
Selasa, 14 Januari 2014
Cermin #22 - Tanpa Batas
Pagi itu berjalan seperti biasa, sampai seorang perempuan tua bermata
satu datang ke rumah. Anak-anak ketakutan, hingga aku mengusirnya meski
dia adalah ibuku sendiri. Pada suatu reuni teman lama, kudengar ibu
telah meninggal. Dan tiba-tiba saja penglihatan, pendengaran, dan hati
seperti lemari besi yang dibuka secara paksa. Oleh sepucuk surat yang
berisi bagaimana aku bisa melihat indahnya dunia dengan dua mata.
Langganan:
Postingan (Atom)