Label

Selasa, 16 Agustus 2011

Celoteh Kemerdekaan

Hari ini hari kemerdekaan negaraku yang ke-66. Masih teringat jelas bagaimana merayakannya di sekolah dulu. Betapa 30 menit berdiri di lapangan merupakan hal paling membosankan menurutku. Melakukan ritual yang sama setiap minggu dan mendengarkan amanat pembina upacara yang sudah bisa ditebak kemana arahnya. Tentang perbaikan moral, pendidikan siswa, kenaikan mutu dan taraf sekolah, hal-hal tentang kenakalan dan prestasi siswa, tentang kisah masa lalu perjuangan para guru dan pejuang kemerdekaan.

Bendera dikibarkan, semua hormat, Mengheningkan Cipta diputar, semua menunduk. Sangat berasa untuk yang merasa dan sangat berarti untuk yang mengerti. Lagu menjadi lebih luas dari kata, hening menjadi lebih dalam dari puisi. Ada yang sedang menggaruk-garuk pantatnya, ada yang menyibak rambut di balik topinya, ada yang tertawa melihat temannya sok serius, ada yang komat kamit menghafal mantera (baca : rumus dan materi) untuk ulangan sehabis upacara itu, bahkan ada yang menangis karena kucing kesayangannya "meninggal" pagi tadi sebelum upacara.

Sesuatu yang aku anggap serius di upacara dulu kini malah mejadi hal yang lucu untuk diingat kembali. Betapa nasionalisme yang terus "didoktrin" pada semua siswa saat itu menjadi bahan lawakan teman-teman di kelas. Justru hal-hal kecil dan sepele menjadi keharusan yang harus dialami seorang remaja. Terlalu muluk bagi kami untuk bicara tentang nasionalisme dan kemerdekaan, bahkan untuk mengurus diri kami sendiri pun kami masih tidak mampu. Banyak teori dan argumen, hingga tak jarang terjadi debat kusir di kelas mengenai makna kemerdekaan.

Kini aku sadar, ternyata makna kemerdekaan bukan terletak pada seserius apa kita untuk membicarakan nasionalisme, bagaimana bangsa ini seharusnya, pasal-pasal yang masih belum menjamah rakyat jelata, para teknokrat dan birokrat yang tak kunjung usai merumuskan masalah yang ada, seorang anak yang putus sekolah dan seorang kakek yang ditolak rumah sakit karena tak punya biaya, maupun masalah konflik kedaerahan yang semakin carut-marut.

Kemerdekaan adalah bagaimana kita bisa hidup sewajarnya, setidaknya sebagai seorang manusia biasa. Merdeka itu, bagaimana kita bisa tertawa saat menjahili teman di kamar mandi sekolah, bagaimana kita tertunduk lesu saat guru memberikan hukuman atas keteledoran, bagaimana kita menangis saat kehilangan pacar ataupun sahabat, bagaimana kita bisa bertanya tentang hal yang sulit kita pahami dan bagaimana kita mendefinisikan makna kemerdekaan dengan cara masing-masing.

Lalu kita bertanya, apakah kita sudah merdeka?

Jakarta, 17 Agustus 2011 (setelah 67 kali sirine proklamasi berbunyi)

- rhariwijaya -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar