Hari ini hari kemerdekaan negaraku yang ke-66. Masih teringat jelas   bagaimana merayakannya di sekolah dulu. Betapa 30 menit berdiri di   lapangan merupakan hal paling membosankan menurutku. Melakukan ritual   yang sama setiap minggu dan mendengarkan amanat pembina upacara yang   sudah bisa ditebak kemana arahnya. Tentang perbaikan moral, pendidikan   siswa, kenaikan mutu dan taraf sekolah, hal-hal tentang kenakalan dan   prestasi siswa, tentang kisah masa lalu perjuangan para guru dan   pejuang kemerdekaan.
Bendera dikibarkan, semua hormat,   Mengheningkan Cipta diputar, semua menunduk. Sangat berasa untuk yang   merasa dan sangat berarti untuk yang mengerti. Lagu menjadi lebih luas   dari kata, hening menjadi lebih dalam dari puisi. Ada yang sedang  menggaruk-garuk pantatnya, ada yang menyibak rambut di balik topinya,  ada  yang tertawa melihat temannya sok serius, ada yang komat kamit  menghafal  mantera (baca : rumus dan materi) untuk ulangan sehabis  upacara itu, bahkan ada  yang menangis karena kucing kesayangannya  "meninggal" pagi tadi sebelum  upacara.
Sesuatu yang aku  anggap serius di upacara  dulu kini malah mejadi hal yang lucu untuk  diingat kembali. Betapa  nasionalisme yang terus "didoktrin" pada semua  siswa saat itu menjadi  bahan lawakan teman-teman di kelas. Justru  hal-hal kecil dan sepele  menjadi keharusan yang harus dialami seorang  remaja. Terlalu muluk bagi  kami untuk bicara tentang nasionalisme dan  kemerdekaan, bahkan untuk  mengurus diri kami sendiri pun kami masih  tidak mampu. Banyak teori dan  argumen, hingga tak jarang terjadi debat  kusir di kelas mengenai makna  kemerdekaan.
Kini aku  sadar, ternyata makna kemerdekaan  bukan terletak pada seserius apa kita  untuk membicarakan nasionalisme,  bagaimana bangsa ini seharusnya,  pasal-pasal yang masih belum menjamah  rakyat jelata, para teknokrat dan  birokrat yang tak kunjung usai  merumuskan masalah yang ada, seorang  anak yang putus sekolah dan seorang kakek yang ditolak rumah sakit  karena tak punya biaya, maupun masalah konflik kedaerahan yang semakin  carut-marut.
Kemerdekaan  adalah bagaimana kita bisa hidup  sewajarnya, setidaknya sebagai seorang  manusia biasa. Merdeka itu,  bagaimana kita bisa tertawa saat menjahili  teman di kamar mandi  sekolah, bagaimana kita tertunduk lesu saat guru  memberikan hukuman  atas keteledoran, bagaimana kita menangis saat  kehilangan pacar ataupun  sahabat, bagaimana kita bisa bertanya tentang  hal yang sulit kita  pahami dan bagaimana kita mendefinisikan makna  kemerdekaan dengan cara  masing-masing.
Lalu kita bertanya, apakah kita sudah merdeka?
Jakarta, 17 Agustus 2011 (setelah 67 kali sirine proklamasi berbunyi)
- rhariwijaya - 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar