Label

Selasa, 20 Desember 2011

Sajak Orang Lari

pagi-pagi banyak orang lari
udara segar pandangan asri
derap kaki pun melangkah pasti
menuju masa depan yang misteri

pagi-pagi orang banyak lari
senyum yang terlukis mentari
keringat menetes tak jadi duri
jantung yang menari di atas kaki

banyak orang lari pagi-pagi
kalau midnight nanti dikira pencuri
tapi tak apa tuk sekedar aku menjadi
asal tidak ditemani oleh si doggy

tapi kenapa aku tak lihat muda-mudi?
apa hanya orang tua yang harus menepi?
ah, mungkin hanya sebuah persepsi
yang memang harus menjadi bukti

bocah-bocah duduk di atas knalpot kopi
penggalauan remaja yang sedang unjuk gigi
bermaksud mencari jati diri
tanpa sadar sedang berlari.. di alam mimpi

aku bukan pemuda juga bukan tetua
hanya sebuah kenduri pengikat jemari
tidurlah, teruslah berasumsi
dan seekor siput sudah tertawa bernyanyi

beberapa mil di depan janji


Minggu, 18 Desember 2011

10 HAK ANAK INDONESIA

(Berdasarkan Konvensi Hak Anak PBB tahun 1989)
Setiap anak di manapun di dunia, berhak untuk :

1.  BERMAIN
2.  Mendapatkan PENDIDIKAN
3.  Mendapatkan PERLINDUNGAN
4.  Mendapatkan NAMA sebagai identitas
5.  Mendapatkan status KEBANGSAAN
6.  Mendapatkan MAKANAN
7.  Mendapatkan akses KESEHATAN
8.  Mendapatkan REKREASI
9.  Mendapatkan KESAMAAN
10. Mendapatkan PERAN dalam PEMBANGUNAN

Dengan lantang Soekarno pernah bersuara,
"Seribu orang tua hanya dapat bermimpi, satu orang pemuda dapat mengubah dunia."

Senin, 12 Desember 2011

T.O.L.A.K.

Sebuah cerita di desa yang tak hanya terpencil, tapi juga hampir 90 persen penduduknya buta huruf, membuyarkan imaji atas idealisme yang sebelumnya cukup membara. Keterbatasan air dan bahan bakar, setidaknya harus menempuh satu setengah jam perjalanan menelusuri bibir perbukitan untuk bertemu dengan peradaban. Sebuah posyandu yang dijenguk sekali seminggu oleh sang dokter menjadi atap tempat kepala kami beradu. Koordinasi dan evaluasi yang terkadang diselingi oleh humor dan emosi menjadi sebuah kewajaran. Motivasi, mungkin itulah yang membuat lima belas pasang lengan masih menggenggam satu sama lain. Membentuk formasi, menopang yang terjatuh, menarik yang tertinggal, menjaga yang tertidur dan mengusap yang terbuai.

Tolak, seorang anak laki-laki enam tahun, cukup pintar untuk anak seusianya. Ia yang tampak “berbeda”, selalu memberikan senyuman khas yang sama ketika kami menyapanya. Selepas dzuhur, di saat anak – anak yang lain sedang asyik bermain, Tolak datang dengan membawa sepasang buku bacaan. Entah apa yang membuatnya begitu bersemangat, padahal jadwal sudah disiapkan tersendiri untuk anak-anak nanti malam. Sesekali terlihat dahinya berkerut ketika membaca buku cerita bergambar, mencoba mengeja perlahan setiap huruf yang ada, hingga tertoreh sebuah tawa kecil di setiap halaman yang berhasil ia baca, puas seperti pemburu yang berhasil menaklukkan seekor singa di sabana.

Malam yang cukup manis, kepuasan melunasi kelelahan ketika melihat anak-anak, orang dewasa dan para lansia senang belajar membaca. Aksen penduduk setempat yang melafalkan huruf “U” menjadi “O” memberikan keseriusan sekaligus keluguan dan kelucuan tersendiri. Tapi justru itulah yang membuat suasana semakin hangat. Malam terakhir kami sadari siapa sebenarnya yang sedang belajar, hanya beberapa hari dalam keterbatasan, kesabaran kami hampir tunduk pada emosi.

Mereka belajar ilmu yang dengan mudah kami dapatkan sewaktu kecil, sedangkan kami belajar ilmu yang mereka jalani seumur hidup, ilmu yang tak akan ada di akademisi.

Di hari harus beranjak, Tolak berdiri paling depan untuk mengantar kepergian kami, berharap tak ada nyanyian-nyanyian sendu pagi itu. Kami hanya meninggalkan beberapa buku, tapi mereka meninggalkan sebuah cerita. Cerita yang terus dilanjutkan di seluruh Indonesia.

IECC for Indonesia, Juni 2007

Minggu, 04 Desember 2011

Cermin #18

Jumat mendung, buku itu tampak masih kokoh dihimpit buku yang lain. Bangkit sejenak dari duka, membalik lembar demi lembar. Teringat tentang perdebatan sengit, yang berakhir dengan kutinggalkannya buku itu untuk kakek tercinta. Berharap sebuah kejaiban terjadi sebelum ajal menjemput. Ya, sebuah usaha dan permohonan untuk mengubah keadaan. Itulah hidayah, lalu kututup rapat-rapat buku itu sambil berbisik, Engkau Yang Maha Mengetahui, Tuhan.

Bias Sajadah

seperti sebuah bohlam malam
filamen yang sudah teroksidasi
penat sesak tak terbatasi lagi
ruang hampa menjadi pilihan

seperti lilin dua inchi
yang sudah kehilangan parafin
berharap tetap menyala
dalam terang lampu badai

seperti rembulan memerah
amnesia pada prinsip refleksi
bangga akan unsur estetika
lalu tertunduk di balik matahari

diam menjadi alternatif
gerak menjadi keharusan
tangan yang mengepal
di atas kesombongan
merekah di hadap-Mu
Ya Ghofur...

Sabtu, 05 November 2011

Kurban Tiga Rasa

apa yang kita kurbankan esok pagi?
setelah belati digosok dengan duri
setajam-tajam untuk memutus nadi
agar tak sisa bunga mati
melihat anak duduk mengamati
sembari memegang kedua pipi
dua tiga kambing sedang dibuli
digiring menuju mobil tanpa kendali
pun bapak ibu sudah siap mengantri
menjemput hak atas rezeki
semua bahagia semua berbagi
melukis senyum memerah simpati

apa yang pagi esok kita kurbankan?
elegi sudah memegang peran
persepsi dan prasangka tanpa pesan
si Toni pun jadi tertekan
dituduh dalam ruang makan berserakan
dia hanya petugas kebersihan
sekaligus pemesan makanan
bukan berarti yang membereskan
tapi apalah daya seribu alasan
di bawah ketiak mutiara dan marjan
jadi kurban kambing hitam jantan
sungguh malang nasibnya.. kan

esok pagi kita kurbankan apa?
sedang aku adalah sepasang mata
menyaksikan ego yang menggema
tak kasat mata gemar berdusta
berkelit di balik kostum fauna
rakaat yang sering terlupa
bacaan yang kehilangan makna
lenyap dicerca oleh melodrama
aku coba mengarang cerita lama
tentang ilmu faal bertanya
tapi selalu kembali ke awal mula
mengganjal pertemuanku dengan-Nya.

- rhariwijaya -

Selasa, 01 November 2011

Al-Quran Surah Ad-Duha

1. Demi waktu duha (ketika matahari naik sepenggalan),
2. dan demi malam apabila telah sunyi,
3. Tuhanmu tidak meninggalkan engkau (Muhammad) dan tidak pula membencimu,
4. dan sungguh, yang kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang permulaan.
5. Dan sungguh, kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu sehingga engkau menjadi puas.
6. Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungi(mu),
7. dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk,
8. dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.
9. Maka terhadap anak yatim, janganlah engkau berlaku sewenang-wenang.
10. Dan terhadap orang yang meminta-minta, janganlah engkau menghardik(nya).
11. Dan terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur).

Jumat, 28 Oktober 2011

Sajak Pemuda Katai

apa yang kita lakukan
atas ketimpangan yang meraja
apa yang kita cari
setelah ambisi mencapai orgasme
apa yang harus direnggut
kesadaran yang sudah direkrut
apa yang perlu dipertanyakan
saat kepala sudah mengabut

jika teori evolusi itu benar
maka kita adalah generasi katai
yang suka mengatai
tanpa suka diberi-tai
bukan berarti itu buruk
karena akibat asal sebab
mengendap dari alam bawah sadar
menjelma menjadi propaganda
sebagai wajah baru
pengganti tisu toilet

anda kepala dan saya pantatnya
begitu kata pemuda serba salah
tapi tak perlu resah
tinggi ada karena rendah
diam bukan berarti tak berpikir
bertindak bukan berarti tahu
hasil menjadi bukti
proses selalu abadi

wahai pemuda,
jika kita sudah berbuat
untuk apa lagi berkaca?

- rhariwijaya -

Jakarta, 28 Oktober 2011

Selasa, 25 Oktober 2011

Cinta, Obsesi dan Ambisi

Cinta, selalu ada banyak kisah yang bisa dibagi, pun makna tentangnya. Manusia dalam hidupnya terus mencari makna cinta sejati. Sebuah titik fokus antara ketulusan dan kebencian. Ketika jatuh cinta, kita sering kali merasa harus menjadi yang terbaik, bahkan tak jarang kita sudah termakan ambisi dan obsesi, hingga kita lupa akan esensi cinta itu sendiri. Berlomba-lomba dalam penampilan, kepandaian, ketrampilan, hampir semua dari kita menjadi "korban" akan persepsi kita sendiri mengenai cinta. Padahal untuk bisa mencintai ataupun dicintai, kita hanya perlu menjadi diri sendiri. Katakan tak suka jika memang anda tidak menyukai hal yang membuat anda tak nyaman, karena di situlah proses pendewasaan sebenarnya terjadi. Tak hanya memuaskan hasrat untuk bersua, namun juga proses pengembangan pribadi yang lebih baik.

Pria adalah sosok yang rumit untuk perempuan, begitu juga perempuan adalah makhluk paling misterius bagi pria. Butuh pengendalian emosi khususnya untuk pria agar bisa memahami apa yang diinginkan perempuan sebenarnya. Apa yang anda perbuat, pastikan itu untuk kebaikan anda sendiri. Jika anda sendiri sudah nyaman dengan yang anda lakukan, maka si "dia" juga pasti akan nyaman dengan anda. Intinya konsep mencintai bukan melakukan apapun yang membuat pasangan kita senang, tetapi harus benar-benar bisa berpikir obyektif bahwa tanpa pasangan atau tidak, anda memang menyenangi yang anda lakukan. Jika tidak, yang akan anda rasakan adalah kekecewaan ketika si "dia" meninggalkan anda. Siap mencintai juga siap untuk berpisah, karena pertemuan dan perpisahan itu dua hal yang sudah pasti akan terjadi. Cepat atau lambat.

Saya bukan ahlinya dalam urusan percintaan, bahkan saya bisa dibilang orang gagal (don't ask why). Tapi tak ada yang sia-sia dalam hidup ini kawan. Life must go on. Selalu belajar dari kesalahan dan jangan pernah mengotori cinta dengan obsesi dan ambisi yang justru malah akan menyakiti orang yang sangat kita cintai, dan pastikan bahwa cinta itu bukanlah sebuah pelarian semata.

Cermin #17

Roy anak yang cukup bandel. Nasehat dari ayah ibunya pun tak ada yang mempan. Setiap perintah selalu dibantahnya. Hingga ia bertanya-tanya mengapa sapi selalu mengangguk ketika berjalan. Ayah ibunya hanya bisa tersenyum sambil menggeleng.

Sabtu, 22 Oktober 2011

Virtual Rendezvous

Fajar..
seteguk air putih

Terik..
usap senyum wudhu

Redup..
keringat diafragma

Hening..
remang lentera labu

Seperti itu kau kan datang padaku
cinta..

- rhariwijaya -

Jakarta, 22 Oktober 2011

Kamis, 13 Oktober 2011

Cermin #16

17 Agustus 2011, ini hari pertama kedatangannya bertugas di perbatasan. Kopral Rori, tampak sekali semangat nasionalisme yang menyala dari korneanya. Langkahnya yang tegas menggetarkan tapal pemisah kedua negara. Tapi hatinya jauh lebih bergetar, ketika mendengar jawaban tentang merah putih yang tak berkibar : "Ya, yang merdeka itu kan hanya Jawa saja".

Rabu, 12 Oktober 2011

Cermin #15

Kancil, seorang anak, tinggal di perbatasan. Tiang di rumahnya merah putih. Berangkat setiap pagi ke sekolah, menyeberang sungai dan penjaga. Sering menyanyi lagu kebangsaan, tapi bukan Indonesia Raya.

Jumat, 07 Oktober 2011

Braveheart Theme - Enerzya (Flute)

Braveheart Theme, my first song with my Flute (Enerzya), if you listen now, it would be an honor. Please give your feedback for my self improvement. Thanks. :)

Rabu, 28 September 2011

Selasa, 27 September 2011

Cermin #14

Malam ini tak ada bintang seperti biasa. Tertutup oleh neon jingga, mengarah ke sudut ini, sedang aku tak mampu berpindah. Ngengat dan jangkrik ingin menghibur, tapi sia-sia. Malam pertama, di balik jeruji, berharap masih bisa melihat cahaya-Nya. Apa mungkin menghapus darah dengan air mata?

Sabtu, 24 September 2011

Cermin #13

Ledakan yang cukup memekakkan telinga. Sopir langsung membuka pintu samping dan depan. Pun ada yang memecahkan kaca dalam keadaan darurat ini. Semua harus segera keluar. Beberapa anak muda terjatuh, seorang ibu pingsan, seorang kakek menggedor pintu bus lain yang lewat, menyelamatkan diri. Semua PANIK!

Tak ada asap, hanya sebuah ledakan angin dari pintu bus otomatis. Korban luka dan trauma berjatuhan.

Kamis, 22 September 2011

Perjanjian Firdaus

"Firdaus akan memlilih siapa yang pantas untuknya."

Ibu sering bersenandung seperti bernyanyi saat maghrib tiba. Kulihat dia membungkuk, lalu bersujud. Di sekolah aku selalu diajari untuk menyalakan lilin, berlutut, tangan menggenggam, mata terpejam, lalu memanjatkan doa tepat di depan patung Tuhanku. Sebuah perwujudan sosok yang sungguh aku agung-agungkan. Lalu aku menyanyi bersama teman-teman, itulah cara kami untuk mengagungkan-Nya. Aku sering mendengar tentang agama itu, tapi baru kali ini aku melihatnya secara langsung. Di depan mataku, oleh ibuku sendiri, di rumah.

 Ayah yang pergi sudah bertahun-tahun di luar pulau tanpa ada kabar pasti, kiriman uang yang tak tentu jumlah dan kapan datangnya, dan sepertinya ibu sudah cukup tersiksa mengenai kabar burung itu. Sentilan para tetangga dan keluarga ayah sering kali membuat ibu mengunci diri di kamar, lalu keluar seperti tak terjadi apa-apa. Terkadang sikap orang dewasa memang sulit untuk dimengerti oleh anak 10 tahun. Sejak itu ibu kembali ke agama sebelum beliau memutuskan untuk menjalani kehidupan dengan ayah. Ketidakjelasan ini juga membuatku semakin jengah setiap minggu harus pergi "sekolah minggu" tanpa ada ayah yang biasanya selalu menuntun. Lebih tertarik aku menonton power ranger tiap minggu pagi yang menjadi tontonan favorit untuk anak-anak. Sampai pada akhirnya aku berhenti total untuk tak lagi menjalani aktivitas kerohanian itu.

Pagi itu kulihat ibu sedang membaca kalimat-kalimat yang begitu asing seusai sembahyang di kamar dengan pintu yang terbuka. Aku yang sedang asik menonton TV di ruang tengah, sesekali mengamati, lalu membuang muka ketika Ibu mendapati arah dan maksud pandanganku. Setelah tak kudengar lagi beliau membaca, kukeraskan saja volume TV. Tanpa kusadari, ternyata ibu sudah berada di sampingku. Ikut menonton kartun bersama. Setelah selesai, beliau seakan bisa membaca rasa penasaranku pada kalimat-kalimat itu.
"Ini cara Ibu berdoa." sambil menunjukkan buku berisi bacaan yang tak kupahami. Ada rasa enggan untuk membacanya, tapi lagi-lagi ibu selalu bisa memahami apa yang sebenarnya dipikirkan anak laki-lakinya.
"Tak apa, kamu bisa membaca artinya dulu."

Begitulah awal perkenalanku dengan agama ibu. Begitu halus, tak kasat mata. Entah kenapa aku menjadi seperti ketagihan. Lalu aku bertanya-tanya mengenai konsep Ketuhanan. Logikaku semakin liar, tapi juga semakin tunduk, bukan untuk tertidur, tapi untuk terus mencari. Berawal dari mengerti arti, lalu membaca latin, hingga mencoba iseng untuk menghafalnya. Memang terdengar aneh, tapi itulah yang terjadi. Hal ini berlangsung selama beberapa bulan. Semua berjalan lancar, sampai pada suatu malam, ayah datang, kujatuhkan mainanku dan segera memeluknya. Dia mencium lembut ubun-ubunku, diusapnya berkali-kali rambutku, tampak sekali kerinduan yang dalam juga sedang dilampiaskannya. Malam itu, adalah yang paling membahagiakan buatku. Ayah kebanggaan, dan tak kan kulepas lagi.

Dari ruang tengah, samar tapi cukup jelas aku mendengar ayah dan ibu berdebat di kamar mengenai apa yang sudah aku pelajari. Sepertinya ayah kurang suka aku belajar agama lain. Aku masih belum memeluknya, hanya sekedar belajar menambah ilmu saja. Sama sekali tak pernah terpikir bagiku untuk memeluk. Tapi kenapa sepertinya ayah kurang suka?

"Jadi Mas pulang hanya untuk mengatakan ini?"
"Ya, aku masih ada proyek. Harus berangkat besok."
"Aku tahu apa yang sebenarnya sedang kau lakukan dan bersama siapa di sana." ayah tampak sedikit terkejut, tapi tak lama kemudian raut wajahnya menjadi sinis.
"Baguslah, nanti akan segera aku urus soal kita."
"Aku tak peduli lagi tentang kita, tapi anak itu butuh ada yang mendampingi, aku sudah tak sanggup."
"Lantas kau biarkan dia sesat dengan agamamu itu?!" nadanya meninggi.
"Biarkan dia sendiri yang memilih." kata-kata ibu yang pelan namun sangat kental ketegasannya.
"Tidak! Anak itu masih terlalu kecil untuk berpikir. Aku tak rela dia memeluk agamamu!
"Lalu, kau biarkan dia kebingungan dengan agamamu?" sebuah pertanyaan yang membuat ayah tak tahu harus menjawab apa.
"Ingat, kalau sampai aku dengar kabar tentang kebodohan ini terus berlanjut, tak sesen pun akan kukirimkan untuk kalian!"

Aku mengintip dari celah pintu. Terlihat ekspresi wajah ibu begitu sedih dengan sesekali isak tangis. Pertama kali aku melihat ibu meneteskan air mata. Amarahku mulai mengental, tak terima atas perlakuan ayah pada ibu. Kukepalkan tangan erat-erat. Kubuka pintu cukup keras untuk mengagetkan mereka. Dengan tetap berdiri di pintu kamar, hanya kata-kata sederhana yang bisa aku ucap, lantang.

"Ayah, kenapa aku belum dibaptis?!"

Malam adalah kepulangan sekaligus kepergian untuk tak kembali lagi. Itulah kenapa aku benci sekaligus merindukan malam. Tapi aku yakin, selalu ada pagi di balik selaput malam.

Jakarta, 23 September 2011
- rhariwijaya -


Rabu, 21 September 2011

Untuk Apa Kita Menulis?

Menulis itu proses menemukan diri sendiri. Belajar dari penulis-penulis yang lain, berbagi, membaca, mendalami, lalu melahirkan tulisan-tulisan baru. Mempertanyakan kembali asumsi yang sudah kita anggap benar. Tak semua yang kita pikir perlu ditulis, tapi semua yang kita tulis adalah hasil pemikiran dan pengalaman.

Kesimpulannya, lalu untuk apa kita menulis?

Cermin #12

"Tak perlu kau khawatir Ibu, anak laki-lakimu ini sudah besar. Sudah saatnya Ibu duduk manis, biarlah aku yang menjagamu kini. Membasuh kaki, mengusap keringat, menampung air mata, sebelum aku merantau. Menemui takdir yang sudah dijanjikan Tuhan untukku."

Firasat Ibu, adalah pertanda Tuhan. Keyakinan anak laki-laki, adalah takdir Tuhan. Ibu yang tak siap kehilangan, anak yang harus melangkah.

"Ini, bakti terakhirku, Ibu."

Cermin #11

 Pikiranku semakin jengah, setiap pilihan tempat makan selalu ditolaknya dengan berbagai alasan. Tak mau yang murah, tak mau yang mahal, pun tak mau yang sederhana. Tak habis pikir lagi apa mau perempuanku ini. Segera ku menepi, diam. Ku pandang matanya, sebuah isyarat, hanya kami yang tahu. Dia.. tersenyum..

Selasa, 20 September 2011

Cermin #10

Tak banyak yang bisa dilakukan pelukis selain mengalami, berimajinasi, kemudian menggores pada kanvas. Seorang kurator kagum, tertarik membeli, harga tak jadi soal, lalu bertemu sang pelukis. Kurator bertanya, bagaimana dia bisa melukis sebagus itu. Pelukis itu lalu mengajaknya keluar, berhenti di suatu tempat, lalu menunjuk pada dua buah batu nisan.

Cermin #9

Penantian di atap rumah. Ku tunggu waktu hingga tepat pukul 12 malam. Bersama bintang, pejamkan mata, haturkan keinginan, berharap ada bintang jatuh. Semoga ada yang seperti Ursa, Lyra, Cygnus dan Corvus yang setia pada Virgo. Ayah Ibu pun sudah tak mampu lagi menemani. Cukup lama aku terpaku hingga teriakan, cacian, tepung, dan telur busuk nyaris membunuhku seketika itu juga. BRENGSEK!!!

Ya, mereka teman-temanku...

Cermin #8

Akulah teman setiamu di sini, kutunggu hingga waktu itu tiba, dan sembari ku kirim anak-anakku padamu. Mereka selalu berbisik, terkadang menunjuk, bahkan tak jarang memeluk. Begitu hangat dan romantis. Kukirim surat cinta ini hanya untukmu.

Jahannam, 19 Nopember 2011

Tertanda,
- Yang Terkutuk oleh Tuhan -

Cermin #7

Anak itu periang, namun nilainya di kelas menurun akhir-akhir ini. Sering dimarahi karena tak jarang beranjak dari tempat duduknya di belakang, untuk melengkapi catatan. Sang ibu pun melarangnya bermain, pengawasan diperketat disertai beberapa cubitan kecil yang cukup membuatnya menangis. Berlangsung beberapa bulan, hingga akhirnya sebuah kacamata membuat anak itu diam, tak beranjak dari kamarnya, malu.

Cermin #6

Pagi itu terasa berbeda, udara pagi yang segar, seperti benar-benar menembus dan merasuk ke setiap relung jiwanya. Semua tampak cerah dan sedikit menyilaukan. Ringan dan ingin terbang menembus cakrawala. Sampai dia melihat tubuhnya sendiri sedang terbaring di tempat tidur, dan ayah ibunya yang sedang menangis di sampingnya.

Cermin #5

Gina melihat orang-orang menunjuk, melapor, mengeluh di facebook. Status menjadi seperti diary. Lalu dia membuka sedikit tirai jendela kamarnya. Melihat orang lalu lalang di depan rumah. Satu-satu diamatinya, hingga pandangannya tertuju pada kakek yang membuang bungkus nasi di selokan, lalu pergi melewati tong sampah tiga meter di depannya.

Cermin #4

Subuh - subuh perempuan itu tersedu di sebuah halte. Seseorang melangkah lalu berhenti tepat di depannya. Dengan air mata perempuan itu bertanya. Sosok itu memberinya secarik kartu nama lalu pergi begitu saja. Wajah sinis tergambar jelas di wajah cantiknya. Tapi itu tak bertahan lama setelah dia bisa mengeja kata I-Z-R-A-I-L.

Cermin #3

Seorang lusuh, dengan topi bambu, safari cokelat yang sudah tak tertahankan baunya beserta celana jins pendek dengan beberapa robekan di sana sini. Aku sapa, memberi senyum sekaligus tanda tanya. Bagaimana orang-orang berdasi mengusirnya, sementara dia yang memberiku posisi sebagai wakil presiden direktur di perusahaan ini.

Cermin #2

Dia hanya berdiri memandang teman-temannya bermain kelereng. Tak nampak mereka mengajak atau menoleh padanya. Bukan karena ia tak mau atau tak mampu. Tapi karena ia berharap bisa bermain dengan jari kakinya.

Cermin #1

Seorang anak laki-laki yang selalu diejek dan dimusuhi teman-teman sepermainannya. Tak ada tangis, tak ada rengekan. Bahkan hingga penyakit aib itu mulai menggerogoti semua panca indera, setelah menyantap habis ayah ibunya. Sambil memandang senja, dia berkata pada sosok yang sudah menunggunya sejak adzan ashar, "Aku ikut kau saja."

Selasa, 13 September 2011

Rembulan Saga

“Kau tau aku semakin bingung melihat perlakuan lelaki itu.” dengan mata yang mulai berkaca, tubuhku pun ikut bergetar geram.
“Aku takut. Takut terjadi sesuatu kepada ibu dan Daru.” tatapan yang begitu dalam, sangat terlihat lelah hidupku tak berkurang sedikitpun.
Dinding itu hanya terdiam, bahasa tubuhku pun begitu. Tak ada yang mampu kulakukan.
Kamar tiga kali tiga ini sungguh gerah di malam pekat. Sangat tak bersahabat.
Sebuah kepalan tinju kembali mendarat di lemari pakaian yang terbuat dari triplek.
Kembali pecah dan berlubang.
“Paling tidak, tunjukkan padaku kalau Engkau adalah Tuhan.”

Sayup-sayup kembali terdengar suara tawa ibu dengan lelaki botak berkumis tebal di ruang tamu.
Tanpa berusaha lagi berkompromi dengan hati, kuambil tongkat baseball pemberian almarhum ayah.
”Mati kau saat ini juga.” Derik hati bergetar.
Mataku memerah, nafas berdesah tak beraturan, sengau. Kubuka pintu tua lusuh itu berbunyi derik. Keluar dari kamar menuju kamar tamu tempat ibu dan lelaki tua berada.
“Mati kau saat ini juga!!!” Aku menjerit lantang, keringat memandikanku. Tubuh pun mengekar marah. Sangat terlihat bahwa aku sedang dalam kondisi tak terkendali. Pitam.

Aku arahkan tongkat itu tepat ke samping kiri telinganya. Tapi refleks lelaki itu lebih cepat, dia ambil nampan aluminium di depannya, lalu menangkis pukulan tongkat itu dengan nampan yang digenggam kedua tangannya.
“Brengsek…”, tak hilang akal kuhantam nampan itu dari arah bawah hingga kedua tangan lelaki itu tak mampu lagi menahanya, nampan itu pun terlempar ke udara, dia mundur beberapa langkah hingga ke sudut ruangan, kini dia benar-benar tanpa perlindungan dan sangat ketakutan.
“Mati kau!”
“Heru!!!”, suara Ibu menghentikan gerakanku, tapi tidak untuk amarahku. Dia menghampiri, menatap dalam-dalam mataku, lalu entah bagaimana tongkat baseball itu sudah ada di tangan Ibu. Nafasku masih tersengal, lahar yang ada dalam tenggorokan ingin kumuntahkan saja. Sementara laki-laki itu tampak sedikit lega dan hanya bisa terdiam di sudut ruangan.

“Kenapa Bu?! Kenapa harus laki-laki ini?!”
“Anak bodoh! Kau sama sekali tak tahu apa yang kau lakukan!”
“Heru memang bodoh, tapi Heru masih punya harga diri! Ibu tak tahu kalau dia termasuk komplotan pembunuh ayah?!”
“Ibu tahu.”
“Lalu kenapa Bu?”, nadaku agak melemah, penasaran apa yang membuat Ibu masih bertahan dengan laki-laki itu.
“Kau tak perlu tahu Heru, kau tak perlu tahu.”

Segera ku hampiri laki-laki itu lalu kutarik kerah bajunya, hingga ia kesusahan untuk bernafas.
“Laki-laki brengsek! Kau racuni apa Ibuku?!”, lantang mulutku di depan matanya sambil kupukul keras-keras tepat di ulu hatinya. Sedikit puas melihat lelaki tua itu meringkuk kesakitan.
Perlahan Ibu menarikku kembali, menjauh beberapa langkah dari laki-laki itu.
“Heru, kau tak ingat pesan ayahmu?”
Memoriku kembali berpendar, dengan amarah masih tersengal aku mencoba memberi Ibu pengertian atas pelajaran yang harus aku berikan pada laki-laki botak dan berkumis tebal itu. Sebuah pelajaran yang tak kan pernah ia lupakan.
“Tugasku adalah menjaga Ibu… terlebih dari tangan laki-laki brengsek…”
“Cukup…”, telunjuknya mengatup rapat-rapat mulutku. Udara di sekitar kami mencoba memeluk dalam simfoninya, meredam apa yang terbuka, menguak apa yang tak terlihat.

Lalu kami berdua mulai berkata-kata… bersama…

“Sebuah keluarga… yang utuh…”

Suasana menjadi hening, sukmaku larut dalam kata-kata ayah. Keinginan kecil ayah sebelum peluru panas benar-benar merenggut nyawanya.
“Ibu sedang belajar memaafkan sekaligus mencintai, tak mudah, tapi harus.”, kata-kata itu seperti parfum malaikat, memadamkan semua amarah dan lahar di tenggorokan, pitam telah menjadi serotonin dalam sel otakku. Aku hanya bisa terduduk di sofa dan membisu.
Aku termenung…
“Apa yang baru saja aku lakukan…”

DOORRR!!!!

Terdengar suara tembakan tak jauh dari tempat dudukku. Kulihat darah segar nan anyir mengalir dari kepala laki-laki tua itu, matanya terbelalak, tubuhnya terduduk di sudut ruangan, kaku dan tak bernyawa. Aku dan Ibu benar-benar terkejut, tak kami lihat seorangpun pelaku penembakan ini, setidaknya di depan rumah. Logika kami mulai bicara, tak ada orang di depan rumah, dan luka tembakan pada laki-laki tua itu ada di pelipis kanannya.

“Daru!!!”, teriak aku dan Ibu bersamaan.

Aku dan Ibu segera bergegas ke kamar, terlihat Daru sedang mengarahkan pistol pembunuh ayah yang disimpannya dengan diam-diam itu di pelipis kanannya.

air matanya…
jatuh hanya satu tetes saja…
sejak kepergian ayah…
apa yang terbungkam, kini tersenyum...

“Ayah… Daru datang…”


(Jakarta, 13 September 2011)
- rhariwijaya & Yaumil Fauzi Gayo -

Minggu, 11 September 2011

Scums

"We are the same, scums that make differences are our assumptions." - rhariwijaya -

Senin, 05 September 2011

My-Opia

Tinggal 2 jam lagi saatnya meninggalkan ruangan membosankan ini, terlebih penjualan sudah semakin menurun. Suhu ruangan pun semakin memanas, seolah tiga AC sudah tak mampu lagi mengerjakan tugasnya. Aku dan dua karyawanku tak lebih dari tape recorder yang terus membunyikan nada dan kata yang sama pada setiap pelanggan yang datang dan pergi, tanpa membeli apa pun. Stok kacamata tak berkurang jumlahnya sejak dua bulan yang lalu, jadi memang sengaja tak menambah persediaannya untuk bulan ini. Semua siasat dan strategi penjualan sudah aku coba, puluhan buku tentang marketing sudah khatam, konsultasi ke ahli marketing setiap minggu juga sudah, poling mengenai kualitas produk pada pelanggan hasilnya juga bagus. Lantas mengapa tak ada yang tertarik untuk membelinya?

Tepat 30 menit sebelum jam pulang..
"Mas, saya mau lihat model kacamata yang di etalase, ehm.. Valentino."
"Kalau yang itu untuk perempuan."
"Kalau begitu yang Nike aja Mas. Ya, yang itu."
Tampak sekali raut muka kepuasan seolah menemukan belahan jiwa yang tlah hilang selama ini. Sebuah kacamata yang bisa menyempurnakan penampilannya. Ini dia, bagaikan tetesan air telaga yang sudah aku nanti-nantikan.
"Ehm… Mas, ini kok agak kecil ya? Ada ukuran yang lebih besar"

Not again... Stok dari pusat yang ada hanya ukuran itu saja, aku sengaja tidak menambah untuk ukuran yang lain karena itulah ukuran yang paling umum. Kalau tak cocok dengan anak muda itu, hanya sebagian kecil dari jumlah pengguna kacamata pada umumnya. Tak masalah jika tak menuruti ukuran anak muda itu, tak mungkin aku mengorbankan strategi yang sudah aku susun sedemikian rupa hanya untuk kaum minoritas seperti dia. Dalam hati aku bergumam, salahmu nak kau punya ukuran kepala lebih besar. Setelah pause beberapa detik, aku mencoba mencari-cari penjelasan yang tepat agar dia jangan sampai pergi dengan tangan kosong.

"Maaf, dari lensa kacamata yang anda gunakan sekarang, sepertinya minusnya sudah tinggi ya?"
"Ya, minus delapan Mas."
"Begini, ada dua hal yang harus dipertimbangkan dalam membeli kacamata, model dan ukuran lensa. Karena minus anda sudah tinggi, otomatis lensanya akan sangat tebal, terlebih ini bahannya plastik, penipisan 40 persen pun tidak terlalu signifikan. Dengan model kacamata yang anda pilih, tentu akan sangat terlihat ketebalannya. Bagaimana jika anda pilih model yang ini saja, ukurannya pas dan tidak akan terlihat tebal lensanya."
"Ehm, tapi Mas, saya mau model yang itu, apa gak ada ukuran yang lebih besar ya?"
"Untuk model itu memang hanya satu ukuran, anda harus memilih antara model dan kesesuaian lensanya, ndak bisa memaksakan model yang bagus dan lensa yang sesuai."
"Owh, gitu ya Mas, kalau di cabang yang lain kira-kira ada yang cocok gak ya?"
"Dimana saja, sama saja, model atau ukuran lensa."
"Ok deh, lihat-lihat dulu ya Mas. Trims."

Habis... Semua penjelasan itu menghabiskan waktuku di toko untuk hari ini, dan hasil yang sama seperti sebelum-sebelumnya. Gila! Apa yang salah dengan semua strategi ini?! Kulepas sejenak kacamata yang sudah bertenger di hidungku selama seharian ini, dengan kesadaran yang telah takluk pada amarah, kutatap dalam-dalam kacamata itu, lalu kulempar ke salah satu sudut ruangan. Tak puas, lalu kuinjak hingga tak jelas lagi bentuknya. Dua karyawanku tak berani bergerak, bahkan tak punya nyali untuk sekedar menatapku.

"Ka.. kami pamit dulu Pak.."

Mereka sudah tau jika aku sudah dalam kondisi seperti itu, respon apapun justru semakin menambah amarahku. Tindakan terbaik adalah membiarkan aku sendiri, itu saja. Aku pulang terakhir, otomatis aku yang mengunci toko sebelum gerimis di luar menyapaku. Terlihat beberapa "ojek hujan" oleh anak-anak jalanan. Seorang dari mereka menawariku sebuah payung. Aku menatapnya dengan sinis, lalu meninggalkannya begitu saja, menerobos gerimis yang tak kuanggap perlu lagi untuk dihindari. Gerimis yang telah menyatu dengan air mata.

Su-dah tak per-lu la-gi ber-te-duh..

Langkahku terhenti pada sebuah kursi tepat di samping lampu taman. Hujan dan senja mendukung alur yang semakin menyesakkan ini. Air mata dan hujan yang saling berebut kursi di lapisan kornea, semakin memudarkan atas logika yang aku agung-agungkan selama ini. Hujan sore ini cukup lama untuk membuat sebatang beringin muntah dan seekor ikan bingung berada di sungai atau selokan.

Hingga kusadari payung corak bunga krisan kuning, berdiri mengamati dengan tatapan pemecah lamunan. Digenggamnya payung itu dengan tangan kecilnya, lalu dengan perlahan dia mulai mendekat, dan masih dengan tatapan yang sama, tanpa bicara sepatah kata pun. Dia pasti salah satu dari para “ojek payung” itu.

"Sudah kubilang pada temanmu tadi, aku tak butuh payung."
Berharap dia tak lagi berdiri di sana. Tapi dia malah semakin menguatkan genggamannya.

"Kau tak dengar, aku tak butuh payung!"
Kali ini dengan nada sedikit lebih keras dan tegas. Dia hanya menunduk, sama sekali tak bergerak, lalu kembali ditatapnya aku, kali ini dengan tatapan yang berbeda dengan sebelumnya. Bukan tatapan kesedihan ataupun tatapan pengemis, entah bagaimana aku menyebutnya, begitu tajam dan dalam. Hei, kau yang butuh aku, bukan aku yang butuh kau, jadi untuk apa kau seperti itu? Gumamku dalam batin, tak pernah seumur hidup ada gadis kecil dengan ketegaran seperti itu. Aku dibuatnya takjub setengah mampus!

"Pergi Kau! Aku tak butuh payungmu! Kau dengar?!"
Kupikir nada yang sangat keras seperti itu sudah membuatnya jera dan segera lari.
Tapi untuk ketiga kalinya... aku salah...

"Goblok! Kau tuli?! Aku tak butuh payung! Pergi, pergi, PERGI!"
Tak tanggung lagi ku tendang genangan air di depanku berkali-kali hingga benar-benar membuat rambut dan wajahnya menyatu.
Dia mundur beberapa langkah, akhirnya kali ini aku berhasil. Tapi tak jauh langkahnya berhenti dan berbalik kembali menatapku. Krisan kuning itu dilipat dan digenggam dengan tangan kirinya, kaki kecil itu berjalan ke arahku, semakin dekat hingga baunya dapat kurasakan masuk ke tenggorokan. Digenggam tangan kananku dengan tangan sebelahnya, dengat sedikit isyarat, aku menunduk hingga tanganku menyentuh lumpur di antara kaki kami. Lalu diusapkannya, hingga rambut, wajah dan lumpur tak ada beda.
Mulut dan badanku hanya bisa menurut, entah kenapa. Bahkan untuk menelan ludah saja aku tak sanggup. Dalam beberapa detik kami mematung, terdiam, menatap pertanyaan, menjawab dusta.

ka-mi ber-te-mu a-ir

Aku memang sudah mengguyur habis wajah dan rambutnya, tapi dia telah membanjiri otakku dengan beberapa pertanyaan dan seribu kemungkinan.

Si-a-pa ka-mu
A-pa ya-ng ka-mu i-ngin-kan
Ba-gai-ma-na bi-sa
Ba-gai-ma-na mung-kin
Ke-bo-doh-an ma-cam a-pa

Dikembangkannya lagi krisan kuning itu, lalu ia pergi begitu saja melewatiku, sedang aku masih saja mematung, merangkai lumpur di tangan.

“Hei, kamu, tunggu!”

Dia menghilang setelah ku berbalik, tapi ingatan itu terus berpendar di ruang kaca yang terus mencari sudut terbaik untuk direfleksikan. Yang dia tinggalkan hanya pertanyaan mengenai lumpur dan krisan kuning. Pertanyaan yang beranak pinak menjadi asumsi dan pertanyaan baru… sudut pandang baru… tentang pemikiran… tentang kacamata… yang ada di hati…

“Aku memang tak butuh payung… aku butuh kau…”

(sebuah ingatan, sebuah cerita…)

- rhariwijaya -

Minggu, 21 Agustus 2011

Mind Gate : Open

Hari ini hari yang "berbeda" setidaknya untuk 23 tahun aku hidup di dunia ini. Dimulai dari pertemuanku dengan alumni Teater Q-sa angkatan 1, mas Rudi Adi Wardoyo di sebuah rumah di kawasan Depok, sebuah diskusi kecil itupun dimulai. Sebagai informasi, mas Rudi ini satu angkatan SMA 1 Jember dengan penyanyi "Opick", jadi beliau kenal betul dengan artis papan atas tersebut. Perbincangan ringan dimulai dari bagaimana dulu Teater Q-sa bisa berdiri dan melepaskan diri dari "ketiak" Teater Bambu sebagai pendahulunya. Sebuah proses manusia untuk bisa benar-benar mengembangkan potensi dirinya terlepas dari bayang-bayang alumni yang secara tidak langsung sudah mematikan kreativitas siswa saat itu. Bagaimana kita bisa membuka pikiran untuk hal-hal baru yang memang harus selalu mengikuti perkembangan zaman.

Dari proses membuka pikiran tadi, perbincangan kemudian berlanjut kepada proses teknis pembuatan sebuah film. Beliau yang dimintai tolong oleh Bang "Opick" untuk membuat film "Di Bawah Langit". Dari uang Opick sendiri senilai 3 Milyar, kemudian film tersebut dibuat. Memang untuk membuat sesuatu yang "besar" harus benar-benar dipertimbangkan secara matang. Satu hal dari sekian banyak yang sudah kami perbincangkan mengenai film, bahwa satu hal yang terpenting dalam membuat sebuah karya adalah "data". Tanpa data yang akurat, karya kita akan mentah dan tentu saja akan sulit sekali untuk dapat diterima dengan baik oleh publik ataupun perusahaan-perusahaan sponsor. Perbanyak pengumpulan referensi film baik itu di dalam dan luar negeri, lalu sisakan waktu khusus untuk membuat karya dengan segala kreativitas yang ada terlepas dari referensi-referensi yang ada, karena jika kedua waktu tersebut tercampur, karya yang kita buat sulit sekali untuk menemukan ke-orisinilitas-nya.

Well, budget minimal untuk membuat sebuah film adalah 500 juta, sebuah angka yang fantastis. Tapi beliau juga menambahkan, jika kita punya ide yang brillian, tanpa modal pun kita mampu untuk membuat film. Kok bisa? Ya bisa saja, tak ada yang bisa membendung kreativitas kita. Saat ini sudah banyak perusahaan yang siap untuk mendukung kemajuan perfilman kita, seperti Pertamina, Mizan, Sampoerna Foundation, dan masih banyak lagi. Intinya selama ada kemauan, kreativitas dan kerja keras, kita pasti bisa mewujudkan apa yang jadi impian kita. Di samping itu, kita juga harus tau resiko apa yang akan kita hadapi nanti setelah kita benar-benar terjun ke dunia perfilman. Karena tak ada yang mulus di dunia ini, berbagai masalah yang akan membuat kita jatuh bangun akan siap menghadang kita kapan saja. Tapi jika kita sudah mempunyai kesiapan akan itu semua, sebenarnya kita tidak akan takut terhadap itu semua, bahkan kerugian besar pun dapat kita terima dengan lapang dada selama sudut pandang kita terhadap masalah selalu kita benahi dan kita perluas. Karena ada "sesuatu" yang selalu bertambah dan tak bisa dinilai dengan nilai nominal uang. Sesuatu yang hanya bisa dirasakan dan dimaknai oleh orang-orang yang selalu mengisi "ruangan" dirinya dengan nilai-nilai hakiki kehidupan.

Perbicangan kami pun terus berlanjut dari jam 10 pagi hingga jam 14.30. Sebuah diskusi yang sangat asyik menurutku, tapi karena aku masih ada acara jalan-jalan, akhirnya diskusi tersebut harus diakhiri dan dalam perjalanan pulang aku masih terngiang-ngiang tentang semuanya, keterbukaan pikiran, ruangan untuk diri sendiri, sudut pandang, sinopsis, pembuatan script film, wow, benar-benar menjadi bahan perenungan dan pemikiran yang akan mengubah hidupku.

Sorenya aku menuju Mall Ambasador Kuningan dengan maksud untuk membeli hard disk eksternal bersama Irfan temenku di mess. Sembari itu, Irfan menjenguk pacarnya yang kos di daerah Kuningan dan aku pun "berpetualang" mencari hard disk eksternal di sana. Setelah sholat mahgrib dan buka puasa di salah satu depot belakang Ambas, akhirnya aku mendapatkan hard disk dengan harga yang lebih terjangkau. Sebuah "keajaiban" pun terjadi setelah aku berjalan-jalan di sana. Ada seorang SPG Asuransi Sinarmas yang menawariku produknya. Well, daripada gak ada kerjaan nungguin Irfan bolehlah toh gratis, akhirnya aku pun diantar menuju ruangan tempat aku diprospek yang katanya hanya 10 menit.

Awalnya aku tidak begitu tertarik oleh yang namanya asuransi, sebuah hal yang tak mungkin aku sentuh setidaknya dalam waktu dekat ini. Tapi pikiranku yang sudah terbuka sebelumnya, ternyata membuatku ingin mempelajari lebih dalam lagi. Presentasi yang cukup menarik akhirnya membuatku terus bertanya mengenai program-program investasi berbasis asuransi yang ada di Sinarmas. Setelah kurang lebih 45 menit aku mulai memahami tujuan-tujuan program tersebut dan manfaat investasi untuk kehidupanku sendiri. Aku pun tak langsung memutuskan untuk ikut program itu, masih banyak yang harus kupelajari lagi setidaknya sampai aku menentukan keputusan yang obyektif setelah membandingkan dengan asuransi yang lain.

Well, mungkin itu dulu ceritaku hari ini, pendek kata, membuka pikiran benar-benar membuatmu bisa memandang dunia ini dari segala sisi dan bisa menentukan sikap yang benar-benar obyektif dalam berkomunikasi, bertatap muka bahkan dalam membuat suatu karya. Tetap berkarya dan jangan menutup diri dari perkembangan zaman.

Selasa, 16 Agustus 2011

Celoteh Kemerdekaan

Hari ini hari kemerdekaan negaraku yang ke-66. Masih teringat jelas bagaimana merayakannya di sekolah dulu. Betapa 30 menit berdiri di lapangan merupakan hal paling membosankan menurutku. Melakukan ritual yang sama setiap minggu dan mendengarkan amanat pembina upacara yang sudah bisa ditebak kemana arahnya. Tentang perbaikan moral, pendidikan siswa, kenaikan mutu dan taraf sekolah, hal-hal tentang kenakalan dan prestasi siswa, tentang kisah masa lalu perjuangan para guru dan pejuang kemerdekaan.

Bendera dikibarkan, semua hormat, Mengheningkan Cipta diputar, semua menunduk. Sangat berasa untuk yang merasa dan sangat berarti untuk yang mengerti. Lagu menjadi lebih luas dari kata, hening menjadi lebih dalam dari puisi. Ada yang sedang menggaruk-garuk pantatnya, ada yang menyibak rambut di balik topinya, ada yang tertawa melihat temannya sok serius, ada yang komat kamit menghafal mantera (baca : rumus dan materi) untuk ulangan sehabis upacara itu, bahkan ada yang menangis karena kucing kesayangannya "meninggal" pagi tadi sebelum upacara.

Sesuatu yang aku anggap serius di upacara dulu kini malah mejadi hal yang lucu untuk diingat kembali. Betapa nasionalisme yang terus "didoktrin" pada semua siswa saat itu menjadi bahan lawakan teman-teman di kelas. Justru hal-hal kecil dan sepele menjadi keharusan yang harus dialami seorang remaja. Terlalu muluk bagi kami untuk bicara tentang nasionalisme dan kemerdekaan, bahkan untuk mengurus diri kami sendiri pun kami masih tidak mampu. Banyak teori dan argumen, hingga tak jarang terjadi debat kusir di kelas mengenai makna kemerdekaan.

Kini aku sadar, ternyata makna kemerdekaan bukan terletak pada seserius apa kita untuk membicarakan nasionalisme, bagaimana bangsa ini seharusnya, pasal-pasal yang masih belum menjamah rakyat jelata, para teknokrat dan birokrat yang tak kunjung usai merumuskan masalah yang ada, seorang anak yang putus sekolah dan seorang kakek yang ditolak rumah sakit karena tak punya biaya, maupun masalah konflik kedaerahan yang semakin carut-marut.

Kemerdekaan adalah bagaimana kita bisa hidup sewajarnya, setidaknya sebagai seorang manusia biasa. Merdeka itu, bagaimana kita bisa tertawa saat menjahili teman di kamar mandi sekolah, bagaimana kita tertunduk lesu saat guru memberikan hukuman atas keteledoran, bagaimana kita menangis saat kehilangan pacar ataupun sahabat, bagaimana kita bisa bertanya tentang hal yang sulit kita pahami dan bagaimana kita mendefinisikan makna kemerdekaan dengan cara masing-masing.

Lalu kita bertanya, apakah kita sudah merdeka?

Jakarta, 17 Agustus 2011 (setelah 67 kali sirine proklamasi berbunyi)

- rhariwijaya -

Tips Menulis

1. Setiap orang punya kisah hebat. Tapi tak semua mau menulis.
2. Menulis itu bukan masalah rajin atau malas, tapi masalah kebutuhan. 
3. Jika anda merasa tdk butuh menulis, jangan paksakan, atau yang terjadi adalah tulisan anda tidak jelas kemana arah dan tujuannya.
4. Kisah hebat diawali dari pemaknaan terhadap hidup anda sendiri. 
5. Bahkan kisah "ritual" di kamar mandi bisa menjadi kisah yang hebat.
6. Yang anda perlukan hanyalah sedikit sentuhan imajinasi dan pilihan kata untuk "mempercantik" tulisan anda.
7. Jangan tergiur oleh berbagai gaya tulisan, jadilah diri anda sendiri dan temukan gaya penulisan khas anda.
8. Anda bermasalah dengan mood yang sering berubah sehingga mempengaruhi tulisan?
9. Ketika mood anda tidak menentu, maka berhentilah sejenak, renungi lagi tujuan anda menulis, segarkan pikiran anda.
10. Anda boleh menulis apapun, tapi ketika anda emosi, coba bandingkan hasilnya dengan tulisan anda yang lain.
11. Buat poin-poin yang akan dibahas, kemudian kembangkan ide-ide tersebut menjadi satu tulisan yang utuh.
12. Jangan tuntut diri anda untuk memenuhi keinginan pembaca, tapi juga jangan menutup diri dari saran dan kritik.
13. Inspirasi datang dengan 3 cara : gift, experience dan faktor eksternal 

a. Gift = inspirasi datang dari mimpi / wangsit / terjadi secara tiba2 / wahyu dari Ilahi
b. experience = dari pengalaman pribadi baik yang telah terjadi maupun yang sedang terjadi
c. faktor eksternal = dari orang lain yang menginspirasi / kejadian alam / sejarah / referensi buku / dll.

14. Dari manapun inspirasi datang, anda harus lebih siap dan peka untuk mencatat setidaknya dalam pikiran untuk ditulis kemudian.

Minggu, 14 Agustus 2011

Menjadi Luar Biasa

"jangan pernah meremehkan hal biasa, lakukan dengan cara yang tak biasa, karena hanya orang tak biasa yang bisa menjadi luar biasa."

Ask to Ask

Bertanyalah kepada semesta untuk mendapatkan pertanyaan yang lain.
Karena hidup adalah proses bertanya.

- rhariwijaya -

Tentang Keyakinan

apa yang memang untuk kita, akan tetap menjadi milik kita
sejauh apa pun jarak ruang dan waktu yang ada
jadi mengapa kita harus khawatir?
apa yang memang bukan untuk kita, akan segera meninggalkan kita
sedekat apapun jarak ruang dan waktu
sekeras apapun usaha kita mempertahankannya
jadi mengapa kita terlalu yakin?


- rhariwijaya -

Sudut Pandang

tidak ada yang salah dengan sudut pandang orang lain..
yang salah adalah sudut pandang kita yang tak pernah mau berubah..
terlalu asyik dengan diri sendiri..
- rhariwijaya -

Tentang Belajar

belajar lebih banyak mendengar daripada bicara..
belajar lebih banyak membaca daripada menulis..
belajar lebih banyak berpikir daripada menyimpulkan..

karena kita akan tau apa yang kita bicarakan..
karena kita akan tau apa yang kita tulis..
karena kita akan tau apa yang kita simpulkan..
- rhariwijaya -

Bagiku, Awal, Satu

Sesuatu yang baru dan segar, itulah yang sedang ingin aku gambarkan mengenai apa yang ingin aku lakukan di hari ini. Seperti apel yang tak hanya sedap dipandang tetapi juga enak dan menyegarkan tenggorokan yang kering. Selalu bermanuver dan berinovasi mengenai ide-ide segar yang tak terlalu muluk dan sederhana. Sebuah keceriaan dengan penuh kedalaman makna. Gambaran seperti itulah unsur yang harus dimiliki oleh karya-karya yang akan saya buat selama sisa hidup saya nanti. Saya sudah lelah untuk menulis karya-karya abstrak (walaupun kadang juga tebersit saat pikiran iseng, hehe..) setelah ada seseorang yang mengingatkan saya untuk tidak menjadi orang yang terlalu abstrak. Yah, biasa-biasa dan yang wajar saja. Tidak memihak antara kesenangan dan kesedihan, karena selalu ada kesenangan di dalam kesedihan dan begitu juga sebaliknya.

Sebelumnya saya hanya bisa membuat karya berupa puisi-puisi, naskah teater dan permainan flute (yang saya beri nama Enerzya) dan biola (baru belajar yang saya beri nama Verlfianza). Ternyata sebuah ide yang luar biasa tak harus dibangun dari hal yang luar biasa, sering kali ide-ide luar biasa timbul dari hal yang sangat sederhana, contohnya adalah ketika saya mencoba membuat cerpen berjudul "Mimpi Antara Dua Gedung Surga", saya menelisik pada kehidupan saya 18 tahun silam. Ketika diri saya masih sangat lugu dan polos untuk berpikir terlalu muluk. Gambaran surga yang sederhana kala itu, keinginan yang masih murni tanpa didasari nafsu angkara murka (lebay). Ternyata cerpen saya mendapat reaksi positif dari beberapa teman-teman penulis dan teater. Mereka semua menganggap ide penulisan saya benar-benar "fresh" dan sederhana namun memiliki makna yang sangat dalam. Hanya saja banyak hal yang masih harus diperbaiki mengenai plot alur dan tata cara penulisan yang baik. Setidaknya saya sudah memulai menulis sesuatu yang akan mengubah hidup saya nanti. Mungkin ini sebuah perubahan kecil bagi saya saat ini, tapi perubahan ini telah mengarahkan saya pada jalan yang pasti yang akan membawa saya menuju "kepuasan batin", sebuah kesempurnaan hidup yang tak akan pernah bisa digantikan dengan jumlah harta yang ada di langit dan bumi. Sebuah kepuasan untuk ikut mengajak orang lain berpikir, menyelami dan berbuat sesuatu yang lebih baik untuk masa depan mereka sendiri. Saya hanya menyelipkan sedikit "bom waktu" yang akan meledak ketika anda secara tidak sadar mencoba menolak apa yang tidak sesuai dengan cara pandang anda selama ini, bukan "racun sianida" yang justru akan segera mematikan kreativitas dan daya pikir anda sebagai selayaknya manusia.

Satu hal yang sangat saya butuhkan dalam berkarya, anda, ya andalah yang sangat saya butuhkan, karena itulah makna dari sebuah kata "teman". Karena makna teman telah mengalami degradasi selama ini dengan adanya kata sahabat, teman dekat maupun pacar. Yah bagi saya ketiga jenis hubungan itu sama saja, mengapa kita tidak menamainya saja dengan kata "teman"? Mengapa kita harus tebang pilih untuk menentukan siapa saja teman yang lebih dekat dan teman yang lebih jauh? Itulah kesalahan saya sebelum-sebelumnya, tak benar-benar memahami makna yang dalam dari sebuah kata "teman". Sedekat atau sejauh apapun teman, teman tetaplah teman, bantulah dia sesuai dengan kemampuan kita, kalaupun kita tidak bisa membantu, duduklah di dekatnya untuk sekedar hanya "mendengar" saja. Itu sudah jauh lebih dari cukup bagi seorang teman yang sangat membutuhkan kehadiran kita.
Oke, mungkin sampai di sini dulu cuap-cuap pagi di bulan puasa ini. Tak perlu terlalu bersedih dan tak perlu terlalu senang, tak perlu terlalu takut dan terlalu berani. Cukup sewajarnya saja, karena dengan begitu, kita bisa memandang semua hal dengan lebih bijaksana. Bukankah itu esensi seorang pemimpin?

Sabtu, 13 Agustus 2011

Mimpi Antara Dua Gedung Surga

Seorang anak kecil berumur 5 tahun diajak ayah ibunya berjalan-jalan di alun-alun kota. Dia melihat banyak rumah bertingkat, gedung dan apartemen megah. Dia berpikir, "Seperti itukah surga?"
Dia melihat ada beberapa orang yang sedang melihat-lihat pamandangan dari balkon apartemennya masing-masing. Dia pun berpikir, "Pasti sangat indah berada di atas sana melihat pemandangan, seperti di surga."

Ayahnya beragama Kristen sedangkan ibunya beragama Islam. Maka sang anak pun memeluk agama seperti ayahnya, Kristen. Dia tidak tahu konsep dalam setiap agama, yang dia tahu Kristen dan Islam adalah dua agama yang mengacu pada Tuhan yang sama, itu saja. Sepulang dari jalan-jalan mereka, anak kecil itu pun tertidur di jalan karena kelelahan. Sampai di rumah, kedua orang tuanya menidurkannya di kamarnya, menarik selimut untuknya dan mengecup keningnya sebelum mematikan lampu kamar dan meninggalkannya dalam dunia mimpi. Sebelum benar-benar larut dalam mimpinya, sang anak bergumam, "Aku ingin sekali jalan-jalan ke surga."

Dalam mimpinya, sang anak melihat sang ayah dan ibu berada di dua gedung yang berbeda, tapi ada jembatan yang menghubungkan mereka berdua. Wajahnya nampak berseri-seri. Dia merasa berada di surga buatannya sendiri. Dia bermain, berlari dan berlompat-lompatan dan ketika berada di gedung yang sama dengan ayahnya, dia melambai ceria kepada ibunya di gedung sebelah. Begitu juga sebaliknya ketika dia berada satu gedung dengan ibunya. Tetapi ayah dan ibunya tidak pernah menyeberang antar gedung, hanya berdiri dan melambai di gedungnya masing-masing.

Setelah bangun tidur, dia kemudian berdoa dengan agamanya saat itu (Kristen), "Ya Tuhan Bapa, terima kasih telah Kau perlihatkan surga untukku, tapi ada satu hal yang ingin aku pinta lagi, tidak bisakah Kau persatukan ayah dan ibu dalam satu gedung? Jadi aku bisa menggandeng dan memeluk mereka berdua dalam satu gedung yang sama. Itu saja Tuhan Bapa." Lalu dia pun pergi mandi, bersiap berangkat sekolah, dan melupakan mimpinya begitu saja. Melupakan untuk diingat kembali 18 tahun kemudian.

- rhariwijaya, Jakarta 14 Agustus 2011 (saat aku telah berumur 23 tahun) -

Jumat, 05 Agustus 2011

Flash Back

Tuhan... hanya ini yang bisa kuucap...
melihat segerombolan karang terbit dari ufuk barat
dan mendengar kicauan alap-alap tenggelam di ufuk timur
Seharusnya aku melihat hijaunya jamrud
yang terbentang di atas sajadah kecilku
antara timur dan barat
antara utara dan selatan
antara langit dan bumi

Negeriku telah merdeka...
yang dibangun dari tetesan
darah dan air mata
Sawah, ladang dan hutan tumbuh subur
di atas tumpukan tulang belulang dan nanah para pejuang
yang tersenyum dengan mesiu tepat di dada

Sungguh beruntung bangsa ini...
telah dianugerahkan pada mereka
air yang melimpah dari samudera barat
semburan merapi dari dasar bumi
dan goncangan sedimen yang dahsyat
Belum cukupkah anugerah-Nya?!

agar hewan ternak kita bertasbih
agar si buyung selalu berdoa
agar cucu-cucu kita bersujud
agar mulut kecil kita selalu bersyukur
hanya pada-Nya

dan selalu menjaga Pertiwi
di Tanah Pusaka ini...
Tanah Air kita...
Indonesia...

- rhariwijaya, 2006 -

Bifurkasi Soliton

Benderaku kini telah menari
Jemarinya bergoyang menyentuh hati
bergerak mengikuti irama hati
di atas hijaunya pertiwi
meski malam telah menanti

Kulihat setitik air mata di merahmu
sebagai saksi perjuangan dulu
melihat kakek dibunuh
mendengar ibu disiksa
merasakan nikmatnya rodi dan romusha
tanpa tau kapan datangnya fajar
tanpa tau ayah ke mana...

Tuhanku Raja Diraja...
Penguasa langit dan bumi
Penakluk ombak di lautan
Jadikanlah bangsa ini bagai ombak soliton
yang mampu hembuskan badai serotonin
ke dalam sel-sel otak kami

yang mampu hancurkan atol di samudera
mampu arungi lautan tanpa pernah terurai
menghancur, mengoyak, mencabik
segala kebiadaban dan kebejatan
atraktor-atraktor di atas sana!
Hhhaaahh... ini sudah jamannya CHAOS!!!

Tuhanku Raja Diraja...
hatiku menunduk...
hatiku berdoa...
hatiku bersujud...
hanya untuk cintaku...
dalam keindahan sebuah bifurkasi.



- rhariwijaya, 2006 -

Senin, 27 Juni 2011

Apakah Kita Sudah Merdeka?

...
Kalau kita merdeka berarti kita akan sendirian di muka bumi ini, tidak lagi disuapi
Kalau kita merdeka, kita akan berjalan sendirian
Kalau kita jatuh, kita bangun sendirian
Kalau kita sakit, kita bertahan sendirian
Kalau kita ingin kaya, kita harus berusaha sendirian
dan kalau kau ingin berbahagia, ingin naik mobil dan ingin apa saja
kamu harus bekerja
Itu artinya kemerdekaan!!!

Mengerti?

- Tidak

Mengerti?!

- TIDAK!!!

Nah, kalau kamu berani bilang tidak,
artinya kamu orang yang MERDEKA.
Hanya orang-orang yang merdeka yang bisa mengatakan TIDAK
Orang yang tidak merdeka tidak akan berani mengatakan TIDAK!!!

*Cuplikan Monolog "Apakah Kita Sudah Merdeka?" karya Putu Wijaya

Jumat, 24 Juni 2011

Grak

bergerak bergerak membuka stagnasi
bergerak bergerak dalam dinamisasi
bergerak bergerak bermain imaji
bergerak bergerak bebaskan diri
bergerak bergerak hancurkan persepsi
bergerak bergerak cairkan bentuk
bergerak bergerak tebas cakrawala
bergerak bergerak tarian jiwa
bergerak bergerak membunuh ego
bergerak bergerak dalam diam
bergerak bergerak menggerak digerak
bergerak digertak tergerak menggertak
bergerak gerak gertak kerak berak
gertakan gerakan gerangan gorengan

Aha!!! (ting)
bergerak bergerak menggoreng hidup

(Jakarta, 24 Juni 2011)
- rhariwijaya -

Jumat, 17 Juni 2011

Cara Lain

aku bertanya pada kebenaran
untuk menghapus air mata
dalam keheningan samudera
dia menjawab dengan diam
aku pun mencoba
menutup duka
dengan luka yang lain
mendekap lolongan
dengan teriakan
menyeka air mata
dengan darah

(Jakarta, 14 Juni 2011)
- rhariwijaya -

Hanya Sebagian

sebagian dari kita
tak lagi malu
berjalan dengan borok
dan membagi

sebagian dari kita
tak lagi gentar
menantang Tuhan
dan membantah

sebagian dari kita
tak lagi bakti
mengangkang pertiwi
dan berak

sebagian dari kita
tak lagi kasih
menghunus mata
dan meludah

sebagian dari kita
tak lagi ingat
kisah si buyung
dan kejujuran

sebagian dari kita
tak lagi bicara
hanya parang
dan darah

sebagian dari kita
tak lagi berkaca
atas lekuk wajah
dan belahan pantat

sebagian dari kita
bukan lagi kemaluan
bukan lagi kehambaan
bukan lagi janji bakti
bukan lagi kehangatan
bukan lagi kejujuran
bukan lagi MANUSIA!!!

dan..
mau apa kita?

sebagian dari kita
wafat..

(Jakarta, 12 Juni 2010)
- rhariwijaya -

There is No Shit in Writing

Apakah perbedaan menulis dan berbicara?
Menurut kita mungkin itu pertanyaan bodoh yang tak seharusnya ditanyakan.
Tapi kita tahu bahwa menulis dan berbicara memiliki kesamaan dalam hal menyampaikan suatu gagasa / ide / "uneg-uneg" kepada orang lain ataupun diri sendiri.
Dalam hal ini esensi perbedaan menulis dan berbicara adalah terletak pada dampak yang ditimbulkannya.

Tentu ketika kita melakukan kritik terhadap suatu masalah, tentu sangat mudah dengan cara vokal / berbicara.
Kita akan dengan mudah menyampaikan suatu gagasan / ide kepada orang lain.
Tapi gagasan atau ide tersebut akan sangat bermanfaat jika didengar oleh orang yang tepat, karena ketika kita berbicara kepada beberapa orang / teman yang justru tak ada kaitannya dengan masalah yang ada dengan jumlah yang sangat terbatas, kritikan tersebut akan sia-sia belaka dan tak membawa manfaat apa-apa selain rasa kesal di hati. Mungkin manfaat terbesar hanya untuk beberapa orang / teman yang mendengar kritikan kita saja sehingga mereka bisa punya informasi lebih dari kita.

Tetapi jika kita ungkapkan kritikan tersebut dengan tulisan dengan berbagai media yang ada sekarang, mungkin kritikan tersebut kecil kemungkinan untuk dibaca langsung oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Namun coba lihat dampak yang akan ditimbulkan ketika tidak hanya 1-5 orang saja yang membaca, tapi hingga ratusan atau ribuan orang yang membacanya, kita akan mampu menyampaikan informasi lebih banyak dan efektif kepada masyarakat luas.
Selain itu informasi yang kita sampaikan akan bersifat lebih "ABADI" daripada ketika hanya berbicara saja. Terlebih ketika informasi tersebut menjadi sebuah buku yang diterbitkan. Jika informasi yang kita sampaikan bermanfaat, tak hanya teman yang akan mencari kita, namun anak cucu kita akan terus membicarakan tentang karya-karya yang kita buat.

Bukankah itu adalah esensi kita hidup di dunia ini?
Berbuat yang terbaik untuk generasi akan datang yang jauh lebih baik dari kita.

Satu kalimat kecil :
Orang yang terlalu banyak bicara adalah "omong kosong", tapi orang yang terlalu banyak menulis tak akan pernah disebut "tulisan kosong".

Mari menulis..

- rhariwijaya -

The Theory of Archy

When I put something to the water in the glass, is the volume of the water increase?
Yes, it is..
but the volume has the absolute value, water volume added to object and will stop to its level.. untill I add new object to the water again.
The question, how to make the volume of the water become "relative"? Not absolute anymore?
Maybe I should put and blow a baloon in the water..
but the baloon has its own volume limit.. how to make the water volume become unlimited?
coz I have to give a huge of water to the people in the drought.. I have to..
then I will put myself to the water and learn to become "bigger" than before..

"just call our problems as a water"

then, let's see..

- rhariwijaya -

Catatan di Angkringan

Membicarakan tentang angkringan sudah pasti yang terlintas adalah suasana yang menyantap makanan yang  begitu sederhana dan bersahaja.
Begitu kita menemukan banyak hal dalam kerendahan hati.
Tapi semua yang ada, semua yang kita pahami, semua bergantung pada sudut pandang yang kita punya.
Dari contoh yang kecil dan sederhana ini, kita bisa belajar banyak hal tentang kehidupan.
Sama seperti untuk membuktikan bentuk bumi dari tiang bendera kapal.
9000 rupiah di angkringan kita akan dapat apa?

1. Kita mendapat 1 nasi kucing, 1 tempe bacem, 1 sayap ayam dan 1 susu jahe.
2. Kita mendapat nikmatnya kesederhaan, begitu mesranya bapak dan ibu penjual, tawa yang begitu tulus, pancaran mata yang bersahaja, tutur kata yang mendamaikan hati, seorang yang sedang berjuang untuk kelangsungan hidupnya dan rasa syukur yang mendalam atas semua yang kita punya.

Yang manakah sudut pandang anda?

- rhariwijaya -

Theory of Every Little Things

Finally I understand..
there is beautiful correlation between problem and growing
just like water and trees
or wood and fire
we need it to grow
fear, sadness, darkness, confusion
all of those we need
to learn how we should live
to learn how we find Him
in everytime and everywhere
even in our blood..

Destiny is in our heart
all we can do is trying only
and don't even think you could have a deal with Him
coz He has His own way, the best way for your life
even it would make you feel so bad, so sad and so useless
to face the problems

We just need to fine the formulas
to correlate everything happens
about who we are
who they are
and who our God
find it and we would be a true human
and don't forget some little thing important
always smile for our problems..
:)

Let's pray to the One and Only.. (Allah SWT)

*easy to talk but so hard to practice it, that's called "REALITY"

- rhariwijaya -

Berdoa Untuk Tidak Menangis

Alkisah ada sebuah perlombaan, ya sebuah lomba kapal layar mainan untuk anak-anak dengan umur 7-10 tahun.
Masing-masing anak telah mempersiapkan kapal mainannya dengan baik. Bermacam-macam jenis dan warna kapal layar yang siap untuk diperlombakan. Ayah dan ibu mereka juga telah siap di tepi danau untuk memberi dukungan terbaik untuk anak-anak mereka masing-masing. Tapi ada satu anak yang "berbeda" saat itu. Dia hanya didampingi oleh kakeknya yang telah renta karena kedua orang tuanya telah tiada. Kapal layar mainannya pun tampak sederhana yang terbuat dari kayu dan tak semewah anak-anak yang lainnya. Hanya ada goresan bertuliskan "harapan" pada sisi samping kapalnya.

Beberapa saat sebelum perlombaan dimulai, anak tersebut tampak serius berdoa yang tanpa sepengetahuannya dia diperhatikan oleh salah satu juri yang ada. Setelah selesai, perlombaan pun dimulai. Masing-masing anak memberi dukungan terbaiknya untuk kapal-kapal layarnya. Hingga pada akhirnya kapal layar anak tersebut yang tampak paling sederhana dinobatkan menjadi juaranya.

Maka salah satu juri bertanya pada anak tersebut, "Nak, doa apakah yang kau ucapkan sebelum bertanding tadi? Apakah kau berdoa agar kapal layarmu menjadi juara pada perlombaan ini?"

Namun dengan bersahajanya anak tersebut menjawab, "Wahai Bapak Juri, aku sama sekali tidak berdoa agar kapalku ini memenangkan perlombaan ini."
"Lantas doa apakah yang kau ucapkan tadi?", sang juri tampak semakin antusias.
"Aku hanya berdoa, jika aku kalah dalam perlombaan ini, aku ingin agar aku kalah dengan tidak menangis", jawab anak tersebut dengan santainya.
Sang juri beserta semua orang yang hadir pada perlombaan pun terdiam.

**Bagaimana dengan doa kita? Apa ada yang salah?

-- Sumber : Anonym --

Realis

Hujan hari ini masih gerimis
suaranya juga masih mengiris
harapan yang mulai terkikis
dan hati yang teriris
ku hanya bisa melukis keris
dengan seonggok penggaris
yang harus tepat sesuai garis
hanya bisa memandang oasis
dari ujung polaris
tempat awal evolusi tangis
masih tetap mengais
dalam awan-awan borealis

(Jakarta, 28 Mei 2011)
- rhariwijaya -

Harmoni

Bumi...
kau masih berputar saja
duduklah sejenak
dan minum teh bersamaku
kita nikmati keheningan ini

ku tau kau ingin berbisik
katakan padaku isi hatimu
katakan yang ingin kau katakan
dan teriaklah pada sluruh semesta
pada hati yang temaram
pada jiwa yang membeku

Bumi...
mengapa kau masih saja berputar
abaikan saja mereka
yang tlah melupakanmu
yang tlah membuangmu
yang tak lagi setia padamu

panggung ini semakin tua
kayu-kayunya pun tlah mulai lapuk
dan kau masih menari
dalam kesyahduan
dalam kerinduan
akan senyum ketulusan

Bumi... Bumi...
sampai kapan kau trus menari?
sampai kayu-kayu itu memakanmu?
atau sampai mereka terbangun dari tidur?
mengapa kau tak mau duduk sejenak saja?
tuk hilangkan segala gundahmu

kau bodoh!!!
ini dunia realistis!!!
untuk apa kau habiskan 4,5 miliar tahun
demi seonggok daging busuk
yang tak tahu betapa lama kau menari
tak tahu akan isi hatimu
tak tahu akan ketulusanmmu
dan mereka... hanya diam...

Bumi...
tunjukkan pada mereka
akan kasih sayangmu
agar hati ini kembali bersemi
seperti teratai di atas air mata
menarilah dan trus menari
hingga Dia tlah bertitah

ku masih di sini...
tuk slalu mendengar...
dan menghapus luka...

akulah... jiwamu...

(Jakarta, 11 April 2011)
- rhariwijaya -

Merangkai Dongeng

kebebasan
kejujuran
senyuman
kebahagiaan
ketulusan
bermain
berlari
berkejaran
bersama
tawa
impian
menggenggam
hati
cinta
keindahan
keutuhan
harapan
sandaran
selalu
ada
tahu
memahami
keikhlasan
putih
hidup
abadi

(Jakarta, 28 Mei 2011)

- rhariwijaya -