Label

Senin, 05 September 2011

My-Opia

Tinggal 2 jam lagi saatnya meninggalkan ruangan membosankan ini, terlebih penjualan sudah semakin menurun. Suhu ruangan pun semakin memanas, seolah tiga AC sudah tak mampu lagi mengerjakan tugasnya. Aku dan dua karyawanku tak lebih dari tape recorder yang terus membunyikan nada dan kata yang sama pada setiap pelanggan yang datang dan pergi, tanpa membeli apa pun. Stok kacamata tak berkurang jumlahnya sejak dua bulan yang lalu, jadi memang sengaja tak menambah persediaannya untuk bulan ini. Semua siasat dan strategi penjualan sudah aku coba, puluhan buku tentang marketing sudah khatam, konsultasi ke ahli marketing setiap minggu juga sudah, poling mengenai kualitas produk pada pelanggan hasilnya juga bagus. Lantas mengapa tak ada yang tertarik untuk membelinya?

Tepat 30 menit sebelum jam pulang..
"Mas, saya mau lihat model kacamata yang di etalase, ehm.. Valentino."
"Kalau yang itu untuk perempuan."
"Kalau begitu yang Nike aja Mas. Ya, yang itu."
Tampak sekali raut muka kepuasan seolah menemukan belahan jiwa yang tlah hilang selama ini. Sebuah kacamata yang bisa menyempurnakan penampilannya. Ini dia, bagaikan tetesan air telaga yang sudah aku nanti-nantikan.
"Ehm… Mas, ini kok agak kecil ya? Ada ukuran yang lebih besar"

Not again... Stok dari pusat yang ada hanya ukuran itu saja, aku sengaja tidak menambah untuk ukuran yang lain karena itulah ukuran yang paling umum. Kalau tak cocok dengan anak muda itu, hanya sebagian kecil dari jumlah pengguna kacamata pada umumnya. Tak masalah jika tak menuruti ukuran anak muda itu, tak mungkin aku mengorbankan strategi yang sudah aku susun sedemikian rupa hanya untuk kaum minoritas seperti dia. Dalam hati aku bergumam, salahmu nak kau punya ukuran kepala lebih besar. Setelah pause beberapa detik, aku mencoba mencari-cari penjelasan yang tepat agar dia jangan sampai pergi dengan tangan kosong.

"Maaf, dari lensa kacamata yang anda gunakan sekarang, sepertinya minusnya sudah tinggi ya?"
"Ya, minus delapan Mas."
"Begini, ada dua hal yang harus dipertimbangkan dalam membeli kacamata, model dan ukuran lensa. Karena minus anda sudah tinggi, otomatis lensanya akan sangat tebal, terlebih ini bahannya plastik, penipisan 40 persen pun tidak terlalu signifikan. Dengan model kacamata yang anda pilih, tentu akan sangat terlihat ketebalannya. Bagaimana jika anda pilih model yang ini saja, ukurannya pas dan tidak akan terlihat tebal lensanya."
"Ehm, tapi Mas, saya mau model yang itu, apa gak ada ukuran yang lebih besar ya?"
"Untuk model itu memang hanya satu ukuran, anda harus memilih antara model dan kesesuaian lensanya, ndak bisa memaksakan model yang bagus dan lensa yang sesuai."
"Owh, gitu ya Mas, kalau di cabang yang lain kira-kira ada yang cocok gak ya?"
"Dimana saja, sama saja, model atau ukuran lensa."
"Ok deh, lihat-lihat dulu ya Mas. Trims."

Habis... Semua penjelasan itu menghabiskan waktuku di toko untuk hari ini, dan hasil yang sama seperti sebelum-sebelumnya. Gila! Apa yang salah dengan semua strategi ini?! Kulepas sejenak kacamata yang sudah bertenger di hidungku selama seharian ini, dengan kesadaran yang telah takluk pada amarah, kutatap dalam-dalam kacamata itu, lalu kulempar ke salah satu sudut ruangan. Tak puas, lalu kuinjak hingga tak jelas lagi bentuknya. Dua karyawanku tak berani bergerak, bahkan tak punya nyali untuk sekedar menatapku.

"Ka.. kami pamit dulu Pak.."

Mereka sudah tau jika aku sudah dalam kondisi seperti itu, respon apapun justru semakin menambah amarahku. Tindakan terbaik adalah membiarkan aku sendiri, itu saja. Aku pulang terakhir, otomatis aku yang mengunci toko sebelum gerimis di luar menyapaku. Terlihat beberapa "ojek hujan" oleh anak-anak jalanan. Seorang dari mereka menawariku sebuah payung. Aku menatapnya dengan sinis, lalu meninggalkannya begitu saja, menerobos gerimis yang tak kuanggap perlu lagi untuk dihindari. Gerimis yang telah menyatu dengan air mata.

Su-dah tak per-lu la-gi ber-te-duh..

Langkahku terhenti pada sebuah kursi tepat di samping lampu taman. Hujan dan senja mendukung alur yang semakin menyesakkan ini. Air mata dan hujan yang saling berebut kursi di lapisan kornea, semakin memudarkan atas logika yang aku agung-agungkan selama ini. Hujan sore ini cukup lama untuk membuat sebatang beringin muntah dan seekor ikan bingung berada di sungai atau selokan.

Hingga kusadari payung corak bunga krisan kuning, berdiri mengamati dengan tatapan pemecah lamunan. Digenggamnya payung itu dengan tangan kecilnya, lalu dengan perlahan dia mulai mendekat, dan masih dengan tatapan yang sama, tanpa bicara sepatah kata pun. Dia pasti salah satu dari para “ojek payung” itu.

"Sudah kubilang pada temanmu tadi, aku tak butuh payung."
Berharap dia tak lagi berdiri di sana. Tapi dia malah semakin menguatkan genggamannya.

"Kau tak dengar, aku tak butuh payung!"
Kali ini dengan nada sedikit lebih keras dan tegas. Dia hanya menunduk, sama sekali tak bergerak, lalu kembali ditatapnya aku, kali ini dengan tatapan yang berbeda dengan sebelumnya. Bukan tatapan kesedihan ataupun tatapan pengemis, entah bagaimana aku menyebutnya, begitu tajam dan dalam. Hei, kau yang butuh aku, bukan aku yang butuh kau, jadi untuk apa kau seperti itu? Gumamku dalam batin, tak pernah seumur hidup ada gadis kecil dengan ketegaran seperti itu. Aku dibuatnya takjub setengah mampus!

"Pergi Kau! Aku tak butuh payungmu! Kau dengar?!"
Kupikir nada yang sangat keras seperti itu sudah membuatnya jera dan segera lari.
Tapi untuk ketiga kalinya... aku salah...

"Goblok! Kau tuli?! Aku tak butuh payung! Pergi, pergi, PERGI!"
Tak tanggung lagi ku tendang genangan air di depanku berkali-kali hingga benar-benar membuat rambut dan wajahnya menyatu.
Dia mundur beberapa langkah, akhirnya kali ini aku berhasil. Tapi tak jauh langkahnya berhenti dan berbalik kembali menatapku. Krisan kuning itu dilipat dan digenggam dengan tangan kirinya, kaki kecil itu berjalan ke arahku, semakin dekat hingga baunya dapat kurasakan masuk ke tenggorokan. Digenggam tangan kananku dengan tangan sebelahnya, dengat sedikit isyarat, aku menunduk hingga tanganku menyentuh lumpur di antara kaki kami. Lalu diusapkannya, hingga rambut, wajah dan lumpur tak ada beda.
Mulut dan badanku hanya bisa menurut, entah kenapa. Bahkan untuk menelan ludah saja aku tak sanggup. Dalam beberapa detik kami mematung, terdiam, menatap pertanyaan, menjawab dusta.

ka-mi ber-te-mu a-ir

Aku memang sudah mengguyur habis wajah dan rambutnya, tapi dia telah membanjiri otakku dengan beberapa pertanyaan dan seribu kemungkinan.

Si-a-pa ka-mu
A-pa ya-ng ka-mu i-ngin-kan
Ba-gai-ma-na bi-sa
Ba-gai-ma-na mung-kin
Ke-bo-doh-an ma-cam a-pa

Dikembangkannya lagi krisan kuning itu, lalu ia pergi begitu saja melewatiku, sedang aku masih saja mematung, merangkai lumpur di tangan.

“Hei, kamu, tunggu!”

Dia menghilang setelah ku berbalik, tapi ingatan itu terus berpendar di ruang kaca yang terus mencari sudut terbaik untuk direfleksikan. Yang dia tinggalkan hanya pertanyaan mengenai lumpur dan krisan kuning. Pertanyaan yang beranak pinak menjadi asumsi dan pertanyaan baru… sudut pandang baru… tentang pemikiran… tentang kacamata… yang ada di hati…

“Aku memang tak butuh payung… aku butuh kau…”

(sebuah ingatan, sebuah cerita…)

- rhariwijaya -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar