Label

Kamis, 22 September 2011

Perjanjian Firdaus

"Firdaus akan memlilih siapa yang pantas untuknya."

Ibu sering bersenandung seperti bernyanyi saat maghrib tiba. Kulihat dia membungkuk, lalu bersujud. Di sekolah aku selalu diajari untuk menyalakan lilin, berlutut, tangan menggenggam, mata terpejam, lalu memanjatkan doa tepat di depan patung Tuhanku. Sebuah perwujudan sosok yang sungguh aku agung-agungkan. Lalu aku menyanyi bersama teman-teman, itulah cara kami untuk mengagungkan-Nya. Aku sering mendengar tentang agama itu, tapi baru kali ini aku melihatnya secara langsung. Di depan mataku, oleh ibuku sendiri, di rumah.

 Ayah yang pergi sudah bertahun-tahun di luar pulau tanpa ada kabar pasti, kiriman uang yang tak tentu jumlah dan kapan datangnya, dan sepertinya ibu sudah cukup tersiksa mengenai kabar burung itu. Sentilan para tetangga dan keluarga ayah sering kali membuat ibu mengunci diri di kamar, lalu keluar seperti tak terjadi apa-apa. Terkadang sikap orang dewasa memang sulit untuk dimengerti oleh anak 10 tahun. Sejak itu ibu kembali ke agama sebelum beliau memutuskan untuk menjalani kehidupan dengan ayah. Ketidakjelasan ini juga membuatku semakin jengah setiap minggu harus pergi "sekolah minggu" tanpa ada ayah yang biasanya selalu menuntun. Lebih tertarik aku menonton power ranger tiap minggu pagi yang menjadi tontonan favorit untuk anak-anak. Sampai pada akhirnya aku berhenti total untuk tak lagi menjalani aktivitas kerohanian itu.

Pagi itu kulihat ibu sedang membaca kalimat-kalimat yang begitu asing seusai sembahyang di kamar dengan pintu yang terbuka. Aku yang sedang asik menonton TV di ruang tengah, sesekali mengamati, lalu membuang muka ketika Ibu mendapati arah dan maksud pandanganku. Setelah tak kudengar lagi beliau membaca, kukeraskan saja volume TV. Tanpa kusadari, ternyata ibu sudah berada di sampingku. Ikut menonton kartun bersama. Setelah selesai, beliau seakan bisa membaca rasa penasaranku pada kalimat-kalimat itu.
"Ini cara Ibu berdoa." sambil menunjukkan buku berisi bacaan yang tak kupahami. Ada rasa enggan untuk membacanya, tapi lagi-lagi ibu selalu bisa memahami apa yang sebenarnya dipikirkan anak laki-lakinya.
"Tak apa, kamu bisa membaca artinya dulu."

Begitulah awal perkenalanku dengan agama ibu. Begitu halus, tak kasat mata. Entah kenapa aku menjadi seperti ketagihan. Lalu aku bertanya-tanya mengenai konsep Ketuhanan. Logikaku semakin liar, tapi juga semakin tunduk, bukan untuk tertidur, tapi untuk terus mencari. Berawal dari mengerti arti, lalu membaca latin, hingga mencoba iseng untuk menghafalnya. Memang terdengar aneh, tapi itulah yang terjadi. Hal ini berlangsung selama beberapa bulan. Semua berjalan lancar, sampai pada suatu malam, ayah datang, kujatuhkan mainanku dan segera memeluknya. Dia mencium lembut ubun-ubunku, diusapnya berkali-kali rambutku, tampak sekali kerinduan yang dalam juga sedang dilampiaskannya. Malam itu, adalah yang paling membahagiakan buatku. Ayah kebanggaan, dan tak kan kulepas lagi.

Dari ruang tengah, samar tapi cukup jelas aku mendengar ayah dan ibu berdebat di kamar mengenai apa yang sudah aku pelajari. Sepertinya ayah kurang suka aku belajar agama lain. Aku masih belum memeluknya, hanya sekedar belajar menambah ilmu saja. Sama sekali tak pernah terpikir bagiku untuk memeluk. Tapi kenapa sepertinya ayah kurang suka?

"Jadi Mas pulang hanya untuk mengatakan ini?"
"Ya, aku masih ada proyek. Harus berangkat besok."
"Aku tahu apa yang sebenarnya sedang kau lakukan dan bersama siapa di sana." ayah tampak sedikit terkejut, tapi tak lama kemudian raut wajahnya menjadi sinis.
"Baguslah, nanti akan segera aku urus soal kita."
"Aku tak peduli lagi tentang kita, tapi anak itu butuh ada yang mendampingi, aku sudah tak sanggup."
"Lantas kau biarkan dia sesat dengan agamamu itu?!" nadanya meninggi.
"Biarkan dia sendiri yang memilih." kata-kata ibu yang pelan namun sangat kental ketegasannya.
"Tidak! Anak itu masih terlalu kecil untuk berpikir. Aku tak rela dia memeluk agamamu!
"Lalu, kau biarkan dia kebingungan dengan agamamu?" sebuah pertanyaan yang membuat ayah tak tahu harus menjawab apa.
"Ingat, kalau sampai aku dengar kabar tentang kebodohan ini terus berlanjut, tak sesen pun akan kukirimkan untuk kalian!"

Aku mengintip dari celah pintu. Terlihat ekspresi wajah ibu begitu sedih dengan sesekali isak tangis. Pertama kali aku melihat ibu meneteskan air mata. Amarahku mulai mengental, tak terima atas perlakuan ayah pada ibu. Kukepalkan tangan erat-erat. Kubuka pintu cukup keras untuk mengagetkan mereka. Dengan tetap berdiri di pintu kamar, hanya kata-kata sederhana yang bisa aku ucap, lantang.

"Ayah, kenapa aku belum dibaptis?!"

Malam adalah kepulangan sekaligus kepergian untuk tak kembali lagi. Itulah kenapa aku benci sekaligus merindukan malam. Tapi aku yakin, selalu ada pagi di balik selaput malam.

Jakarta, 23 September 2011
- rhariwijaya -


Tidak ada komentar:

Posting Komentar