Label

Selasa, 13 September 2011

Rembulan Saga

“Kau tau aku semakin bingung melihat perlakuan lelaki itu.” dengan mata yang mulai berkaca, tubuhku pun ikut bergetar geram.
“Aku takut. Takut terjadi sesuatu kepada ibu dan Daru.” tatapan yang begitu dalam, sangat terlihat lelah hidupku tak berkurang sedikitpun.
Dinding itu hanya terdiam, bahasa tubuhku pun begitu. Tak ada yang mampu kulakukan.
Kamar tiga kali tiga ini sungguh gerah di malam pekat. Sangat tak bersahabat.
Sebuah kepalan tinju kembali mendarat di lemari pakaian yang terbuat dari triplek.
Kembali pecah dan berlubang.
“Paling tidak, tunjukkan padaku kalau Engkau adalah Tuhan.”

Sayup-sayup kembali terdengar suara tawa ibu dengan lelaki botak berkumis tebal di ruang tamu.
Tanpa berusaha lagi berkompromi dengan hati, kuambil tongkat baseball pemberian almarhum ayah.
”Mati kau saat ini juga.” Derik hati bergetar.
Mataku memerah, nafas berdesah tak beraturan, sengau. Kubuka pintu tua lusuh itu berbunyi derik. Keluar dari kamar menuju kamar tamu tempat ibu dan lelaki tua berada.
“Mati kau saat ini juga!!!” Aku menjerit lantang, keringat memandikanku. Tubuh pun mengekar marah. Sangat terlihat bahwa aku sedang dalam kondisi tak terkendali. Pitam.

Aku arahkan tongkat itu tepat ke samping kiri telinganya. Tapi refleks lelaki itu lebih cepat, dia ambil nampan aluminium di depannya, lalu menangkis pukulan tongkat itu dengan nampan yang digenggam kedua tangannya.
“Brengsek…”, tak hilang akal kuhantam nampan itu dari arah bawah hingga kedua tangan lelaki itu tak mampu lagi menahanya, nampan itu pun terlempar ke udara, dia mundur beberapa langkah hingga ke sudut ruangan, kini dia benar-benar tanpa perlindungan dan sangat ketakutan.
“Mati kau!”
“Heru!!!”, suara Ibu menghentikan gerakanku, tapi tidak untuk amarahku. Dia menghampiri, menatap dalam-dalam mataku, lalu entah bagaimana tongkat baseball itu sudah ada di tangan Ibu. Nafasku masih tersengal, lahar yang ada dalam tenggorokan ingin kumuntahkan saja. Sementara laki-laki itu tampak sedikit lega dan hanya bisa terdiam di sudut ruangan.

“Kenapa Bu?! Kenapa harus laki-laki ini?!”
“Anak bodoh! Kau sama sekali tak tahu apa yang kau lakukan!”
“Heru memang bodoh, tapi Heru masih punya harga diri! Ibu tak tahu kalau dia termasuk komplotan pembunuh ayah?!”
“Ibu tahu.”
“Lalu kenapa Bu?”, nadaku agak melemah, penasaran apa yang membuat Ibu masih bertahan dengan laki-laki itu.
“Kau tak perlu tahu Heru, kau tak perlu tahu.”

Segera ku hampiri laki-laki itu lalu kutarik kerah bajunya, hingga ia kesusahan untuk bernafas.
“Laki-laki brengsek! Kau racuni apa Ibuku?!”, lantang mulutku di depan matanya sambil kupukul keras-keras tepat di ulu hatinya. Sedikit puas melihat lelaki tua itu meringkuk kesakitan.
Perlahan Ibu menarikku kembali, menjauh beberapa langkah dari laki-laki itu.
“Heru, kau tak ingat pesan ayahmu?”
Memoriku kembali berpendar, dengan amarah masih tersengal aku mencoba memberi Ibu pengertian atas pelajaran yang harus aku berikan pada laki-laki botak dan berkumis tebal itu. Sebuah pelajaran yang tak kan pernah ia lupakan.
“Tugasku adalah menjaga Ibu… terlebih dari tangan laki-laki brengsek…”
“Cukup…”, telunjuknya mengatup rapat-rapat mulutku. Udara di sekitar kami mencoba memeluk dalam simfoninya, meredam apa yang terbuka, menguak apa yang tak terlihat.

Lalu kami berdua mulai berkata-kata… bersama…

“Sebuah keluarga… yang utuh…”

Suasana menjadi hening, sukmaku larut dalam kata-kata ayah. Keinginan kecil ayah sebelum peluru panas benar-benar merenggut nyawanya.
“Ibu sedang belajar memaafkan sekaligus mencintai, tak mudah, tapi harus.”, kata-kata itu seperti parfum malaikat, memadamkan semua amarah dan lahar di tenggorokan, pitam telah menjadi serotonin dalam sel otakku. Aku hanya bisa terduduk di sofa dan membisu.
Aku termenung…
“Apa yang baru saja aku lakukan…”

DOORRR!!!!

Terdengar suara tembakan tak jauh dari tempat dudukku. Kulihat darah segar nan anyir mengalir dari kepala laki-laki tua itu, matanya terbelalak, tubuhnya terduduk di sudut ruangan, kaku dan tak bernyawa. Aku dan Ibu benar-benar terkejut, tak kami lihat seorangpun pelaku penembakan ini, setidaknya di depan rumah. Logika kami mulai bicara, tak ada orang di depan rumah, dan luka tembakan pada laki-laki tua itu ada di pelipis kanannya.

“Daru!!!”, teriak aku dan Ibu bersamaan.

Aku dan Ibu segera bergegas ke kamar, terlihat Daru sedang mengarahkan pistol pembunuh ayah yang disimpannya dengan diam-diam itu di pelipis kanannya.

air matanya…
jatuh hanya satu tetes saja…
sejak kepergian ayah…
apa yang terbungkam, kini tersenyum...

“Ayah… Daru datang…”


(Jakarta, 13 September 2011)
- rhariwijaya & Yaumil Fauzi Gayo -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar