Label

Senin, 12 Desember 2011

T.O.L.A.K.

Sebuah cerita di desa yang tak hanya terpencil, tapi juga hampir 90 persen penduduknya buta huruf, membuyarkan imaji atas idealisme yang sebelumnya cukup membara. Keterbatasan air dan bahan bakar, setidaknya harus menempuh satu setengah jam perjalanan menelusuri bibir perbukitan untuk bertemu dengan peradaban. Sebuah posyandu yang dijenguk sekali seminggu oleh sang dokter menjadi atap tempat kepala kami beradu. Koordinasi dan evaluasi yang terkadang diselingi oleh humor dan emosi menjadi sebuah kewajaran. Motivasi, mungkin itulah yang membuat lima belas pasang lengan masih menggenggam satu sama lain. Membentuk formasi, menopang yang terjatuh, menarik yang tertinggal, menjaga yang tertidur dan mengusap yang terbuai.

Tolak, seorang anak laki-laki enam tahun, cukup pintar untuk anak seusianya. Ia yang tampak “berbeda”, selalu memberikan senyuman khas yang sama ketika kami menyapanya. Selepas dzuhur, di saat anak – anak yang lain sedang asyik bermain, Tolak datang dengan membawa sepasang buku bacaan. Entah apa yang membuatnya begitu bersemangat, padahal jadwal sudah disiapkan tersendiri untuk anak-anak nanti malam. Sesekali terlihat dahinya berkerut ketika membaca buku cerita bergambar, mencoba mengeja perlahan setiap huruf yang ada, hingga tertoreh sebuah tawa kecil di setiap halaman yang berhasil ia baca, puas seperti pemburu yang berhasil menaklukkan seekor singa di sabana.

Malam yang cukup manis, kepuasan melunasi kelelahan ketika melihat anak-anak, orang dewasa dan para lansia senang belajar membaca. Aksen penduduk setempat yang melafalkan huruf “U” menjadi “O” memberikan keseriusan sekaligus keluguan dan kelucuan tersendiri. Tapi justru itulah yang membuat suasana semakin hangat. Malam terakhir kami sadari siapa sebenarnya yang sedang belajar, hanya beberapa hari dalam keterbatasan, kesabaran kami hampir tunduk pada emosi.

Mereka belajar ilmu yang dengan mudah kami dapatkan sewaktu kecil, sedangkan kami belajar ilmu yang mereka jalani seumur hidup, ilmu yang tak akan ada di akademisi.

Di hari harus beranjak, Tolak berdiri paling depan untuk mengantar kepergian kami, berharap tak ada nyanyian-nyanyian sendu pagi itu. Kami hanya meninggalkan beberapa buku, tapi mereka meninggalkan sebuah cerita. Cerita yang terus dilanjutkan di seluruh Indonesia.

IECC for Indonesia, Juni 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar